My Friend

Sabtu, 10 Mei 2014

Makalah Sosiologi Hukum tentang Deregulasi dan Debirokratisasi



BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Akhir-akhir ini banyak dibicarakan tentang deregulasi dan debirokratisasi, baik yang berwujud haluan-haluan ( Policies) yang ditetapkan oleh pihak-pihak lainnya. Yang memunculkan peraturan-peraturan baru mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu, misalnya bidang ekonomi, yang apabila dibandingkan dengan peraturan-peraturan lama, lebih longgar sifatnya atau sama sekali merupakan aturan baru.
Debirokratisasi suatu hal yang mendesak untuk segera di realisasikan  dalam era reformasi untuk  menuju pemerintahan yang accountable sesuai dengan prinsip good governance.
Debirokratisasi dengan deregulasi bagaikan dua permukaan sebuah mata uang logam, dimana keduanya harus dilaksanakan beriringan secara silmultan, dan kalau diibaratkan sebagai sebuah timbangan, maka keduanya harus mempunyai beban berat yang sama, sehingga  keseimbangannya akan selalu tetap terjaga. Artinya seluruh aparat birokrasi dalam melaksanakan pelayanan terhadap masyarakat tetap melakukannya secara cepat, tepat dan murah dan dapat dipertangung jawabkan sesuai keinginan masyarakat tanpa mengabaikan regulasi yang ada.

B.     Rumusan Masalah
Bagaimana proses deregulasi dan debirokratisasi dari sudut pandang Sosiologi Hukum?
C.     Tujuan
Untuk mengetahui proses deregulasi dan debirokratisasi dari sudut sosiologi hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Regulasi dan Deregulasi
Kata regulasi yang berasal dari regulation bermakna ‘tindakan pengurus­an dengan berbagai aturan (yang berkekuatan hukum).Unsur de- yang melekat pada kata serapan dari bahasa asing, misalnya bahasa lnggris, bermakna (1) ‘melakukan hal yang sebaliknya’, (2) ‘mengalihkan sesuatu dari’, (3) ‘mengurangi’, (4) ‘suatu ubahan dari’, dan (5) ‘keluar dari’. Jadi, debirokratisasi bermakna ‘tindakan atau proses mengurangi tata kerja yang serba lamban dan rumit agar tercapai hasil dengan lebih cepat’, sedangkan deregulasi bermakna ‘tindakan atau proses menghilangkan atau mengurangi segala aturan’.Perlu diingat bahwa pada kedua bentuk itu sudah terkandung makna tindakan.
Semenjak dilahirkan,  manusia sudah mempunyai hasrat untuk hidup secara teratur. Hasrat atau kehendak untuk hidup secara teratur itu timbul baik dari pikiran maupun perasaannya. Akan tetapi,  dalam kenyataannya kehidupan teratur bagi manusia tertentu, mungkin tidak sama dengan keteraturan menurut pendapat orang lain. Apabila keadaan demikian dibiarkan, maka akan timbul kekacauan, karena benturan dan bahkan bentrokkan kepentingan-kepentingan.
Untuk mecegah dan mengatasi terjadi benturan atau bentrokan kepentingan-kepentingan, manusia menyusun kaidah-kaidah atau norma-norma. Kaidah atau norma merupakan patokan bersikap dan melakukan tindakan yang pantas, dan untuk mengukur sikap dan tindakan manusia yang sesuai.
Dalam perkembangannya, timbul kaidah-kaidah yang mengatur diri pribadi manusia dan hubungan antar pribadi. Kaidah-kaidah kepercayaan dan kesusilaan. Kaidah kepercayaan agar manusia menganut kehidupan yang beriman, sedangkan kaidah kesusilaan bertujuan agar manusia mempunyai hati nurani (Conscience) yang bersih.
Kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antar pribadi, terdiri dari kaidah-kaidah kesopanan dan hukum. Kaidah kesopanan bertujuan agar terjadi kelancaran dalam pergaulan hidup. Hukum sebagai kaidah bertujuan agar pergaulan hidup tetap berlangsung secara damai. Kedamaian itu diperoleh, apabila terjadi keserasian antara ketertiban (kedisiplinan, keterikatan) dengan ketentraman (kebebasan).
Hal tersebut yang berintikan pada pembentukan dan penegakkan kaidah-kaidah dalam kehidupan manusia maupun pergaulanny, secara sosiologis disebut pengaturan atau regulasi kehidupan manusia. Regulasi mungkin timbul dari masyarakat sendiri, sebagai akibat kebiasaan yang telah dipelihara lama ataupun adat istiadat. Aturan-aturan yang merupakan abstraksi kebiasaan atau adat istiadat itu ditegakkan oleh pihak-pihak tertentu yag diakui kekuasaannya oleh masyarakat.
Akan tetapi, dilain pihak mungkin regulasi juga datang dari kalangan yang berkuasa dalam suatu masyarakat. Kegiatan atau proses menciptakan suatu peraturan-peraturan dari “atas” yang berupa ketentuan-ketentuan yang berupa abstrak yang berlaku umum, lazimnya disebut regeling (pengaturan) atau perundang-undangan dalam arti luas.
Kegiatan atau proses untuk menciptakan  ketentuan-ketentuan yang kongkret yang disebut keputusan. Keputusan dapat dirinci dalam tiga bidang, yakni:
1)      Bidang Pemerintahan yang bentuknya adalah:
a.       perizinan
b.      pembebanan
c.       penentu kedudukan
d.      pembuktian
e.       pemilik dalam pengadaan dan pemeliharaan perlengkapan (administratif)
2)      Bidang kepolisian yang mencakup proses  pencegahan dan proses penindakan suatu kejadian yang menggangu kemantapan pada umumnya atau kehidupan pribadi.
3)      Bidang Peradilan
Apabila diadakan deregulasi  yang beraati melonggarkan atau meniadaka regulasi. Pada kenyataan sekarang ini menunjukkan bahwa diartikan sebagai pelonggaran penegakkan kaidah-kaidah dengan merumuskan peraturan-peraturan baru. Seharusnya pelonggaran tersebut diberi bentuk paling sedikit sama dengan peraturan terdahulu.
Apabila diberi bentuk yang lain, baik secara sosiologis maupun yuridis terjadi inkonsistensi. Secara sosiologis sudah dikenal bahwa suatu undang-undang peringkatnya lebih tinggi dari pada peraturan pemerintah. Kalau yang telah diatur oleh undang-undang kemudian diadakan regulasi, semesrtinya itu juga dilakukan dalam peraturan pemerintah. Apabila dilakukan dengan peraturan yang lebih rendah peringkatnya, maka wibawa peraturan yang lebih tinggi akan merosot, walaupun proses penyelesaian masalah menjadi sederhana (namun sifatnya tetapnya sementara atau ad hoc, dan hanya merupakan suatu reaksi terhdap gejala yang timbul).
B.     Birokrasi dan debirokratisasi
Kata birokrasi berasal dan kata bureaucracy yang bermakna ‘administrasi yang dicirikan oleh kepatuhan pada aturan, pro­sedur, dan jenjang kewenangan sehingga sering mengakibatkan kelam­banan kerja, kerumitan perolehan hasil, dan penundaan gerak; sedang­kan kata birokratisasi yang berasal dan bureaucratization bermakna ‘hasil tindakan yang berhubungan dengan, atau yang bercorak birokrasi’.
Secara sosiologis birokrasi merupakan suatu lembaga yang berproses. Birokrasi secara ideal memiliki ciri-ciri berikut:
a.       Tujuannya dirumuskan secara eksplisit, objektif, dan diketahui oleh umum. Tujuan-tujuan tersebut harus dirimuskan secara tertulis dan sifatnya resmi, sehingga semua unsur-unsur birokrasi ikut bertanggung jawab terhadap pencapaian tujuan.
b.      Secara hierarkis terdapat ketentuan-ketentuan yang tegas mengenai wewenang dan tanggung jawab. Kekuasaan dan wewenang setiap lapisan dirumuskan secara jelas dan sederhana, sehingga mudah dikomunikasikan.
c.       Peraturan-peraturan yang dirumuskan senantiasa berkaitan dengan hakikat dan tujuan organisasi, dan dapat dijadikan patokan dalam bersikap dan bertindak.
d.      Wewenang atau kekuasaan bersifat legal dan rasional.
e.       Karier pegawai birokrasi berlandaskan pada profesionalisme dan pengangkatan-pengangkatan didasarkan pada kemampuan, keterampilan, dan prestasi.
f.       Pengambilan keputusan dilakukan secara sistematis dan dilandaskan pada data yang akurat, dengan memperhitungkan akibat-akibatnya di masa mendatang.
Ciri-ciri diatas digunakan oleh setiap organisasi yang menganut pembagian kerja. Apalagi dalam kehidupan bernegara birokrasi sangat diperlukan, karena tujuannya adalah untuk melancarkan komunikasi antara masyarakat umum dengan penguasa dan antar unsur-unsur penguasa.
Akan tetapi, dalam kenyataan suatu lembaga yang disebut birokrasi menjadi penghalang terhadap kelancaran hubungan masyarakat dengan penguasa. Biasanya lembaga yang disebut birokrasi tidak fungsional , ciri-cirinya sebagai berikut: 
a.       Tujuannya bersifat ad hoc dan tergantung pada kepentingan pribadi oleh tokoh-tokoh bisnis, politik, militer, dst.
b.      Hierarki sangat luwes, karena tergantung pada selera pemegang kekuasaan sehingga wewenang dan tanggung jawab tidak dirumuskan secara tegas.
c.       Peraturan-peraturan tidak sistematis dan tidak ditegakkan secara selektif, karena sangat ditentukan oleh partikularisme.
d.      Wewenang bersifat tradisional dan kharismatis
e.       Karier bersifat nonprofesional  dan pekerjaan dikerjakan berdasarkan selera atasan.
f.       Pengambilan keputusan bersifat intuitif dan ad hoc, tanpa terlalu memikirkan akibatnya di masa mendatang.
Apabila suatu birokrasi mempunyai ciri-ciri seperti diatas, prosesnya disebut red-tape, merupakan penghalang bagi kelancaran proses. Sudah jelas hal itu memerlukan perubahan. Tetapi perubahanya tidak selalu dapat disebut debirokratisasi, karena istilah itu adalah penghapusan birokrasi  atau melonggarkan birokrasi.
Debirokratisasi dalam pengertian penghapusan atau pengurangan hambatan yang terdapat dalam sistem birokrasi di era reformasi, mutlak diperlukan dalam rangka mensejahterakan masyarakat, untuk mempercepat akselerasi pembangunan dan untuk menghilangkan konotasi negatif dimana birokrasi dianggap suatu hal yang mengakibatkan berbelit-belitnya pelayanan kepada masyarakat.

Banyak hal yang dapat dilakukan, yang paling utama peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), hal ini sangat penting mengingat SDM adalah sebagai aktor utama pelaksana teknis dilapangan yang menjadi ujung tombak berhasil atau tidaknya penerapan debirokratisasi di dalam sebuah system pemerintahan.

Lalu revisi ketentuan-ketentuan (deregulasi) yang disesuaikan dengan dinamika masyarakat yang menuntut adanya kemudahan, kecepatan, biaya murah serta akurat sehingga diharapkan tidak mengakibatkan meningkatnya biaya produksi dalam segala hal. Pembentukan lembaga pelayanan satu pintu juga merupakan suatu hal yang diperlukan.






Contoh kasus
Kebijakan debirokratisasi yang pernah dilakukan pemerintah pusat adalah, Presiden gusdur yang pernah membubarkan Departemen Sosial dan Departemen Penerangan. Departemen sosial dianggap ladang korupsi dan Departemen penerangan dianggap sebagai lembaga anti-demokrasi karena tempat pembredelan media massa.
Hal ini dilakukan gusdur untuk mengoptimalkan pemerintahannya terhadap pelayanan masyarakat. Namun kebijakan ini banyak di tentang oleh berbagai pihak, karena dinilai salah sasaran. Bukan lembaganya yang harus di ubah tapi system peraturan dan pengawasan maupun orang-orang yang terlibat didalamnya yang harus dihijaukan.
Kebijakan deregulasi yang dilakukan pemerintah adalah. Pada  4 Juni tahun 1996 pemerintah orde baru mengeluarkan 11 langkah kebijakan deregulasi. Meliputi :
(1) penjadwalan penurunan tarif bea masuk,
(2) perubahan tarif bea masuk barang modal,
(3) penghapausan bea masuk tambahan,
(4) penyederhaan tata niaga impor,
(5) ketentuan anti-dumping,
(6) kemudahan ekspor,
(7) kemudahan layanan eksportir tertentu untuk bidang tertentu,
(8) penyederhanan perijinan industri di kawasan industri,
 (9) peneyelenggaran temapt penimbunan,
(10) kelonggaran kegiatan ekspor-impor bagi perusahaan PMA manufaktur,
(11) penyerdahanaan prosedur impor limbah untuk bahan baku industri. Untuk penurunan tarif      bea masuk, telah ditrunkan sebanyak 1.497 pos tarif dari 7.288 pos tarif.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Birokrasi Indonesia membutuhkan kesegaran dalam system pelayanan yang lebih baik, karena itu yang diperlukan oleh masyarakat kita dewasa ini. Debirokrtisasi dan deregulasi merupakan salah satu cara dari sekian banyak cara untuk menekankan pelayanan yang maksimal pada masyarakat demi terciptanya pemerintahan yang sebenarnya. Berbagai kebijakan debirokratisasi dan deregulasi memberikan kemajuan maupun terkesan lambat dapat kita aspirasikan dan memberikan dukungan.
Dengan adanya program reformasi birokrasi masyarakat dapat berharap bakal ada perubahan dalam bentuk kemuajuan secara besar  terhadap pelayanan publik nanti. Berbagai kegiatan yang menyangkut dengan proses pelayanan publik akan mendapatkan tempat yang semestinya bila debirokratisasi dan deregulasi dapat berjalan dengan lancar dan reformasi birokrasi benar-benar dilakukan dengan baik.
  Secara sosiologis  hukum deregulasi dan debirokratisasi tidaklah terbatas pada pelonggaran-pelonggaran. Masalahnya adalah pada mulanya terjadi overregulation dan overbureaucratization. Artinya terlalu banyak peraturan dan prosedur birokratis.

B.     Saran
Hendaknya yang dilakukan bukan hanya penyederhanaan atau pelonggaran, tetapi peninjauan kembali dan pemantapan. Hal ini perlu dipertimbangkan, supaya tidak terjadi deregulasi dan debiroratisasi yang terlampau banyak.






DAFTAR PUSTAKA

1.      Soekanto, Sarjono. 2012. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
2.      Anwar, Yesmil.dkk. 2007. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta: Grasindo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar