BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Akhir-akhir
ini banyak dibicarakan tentang deregulasi dan debirokratisasi, baik yang
berwujud haluan-haluan ( Policies) yang ditetapkan oleh pihak-pihak lainnya.
Yang memunculkan peraturan-peraturan baru mengenai bidang-bidang kehidupan
tertentu, misalnya bidang ekonomi, yang apabila dibandingkan dengan
peraturan-peraturan lama, lebih longgar sifatnya atau sama sekali merupakan
aturan baru.
Debirokratisasi suatu hal yang
mendesak untuk segera di realisasikan
dalam era reformasi untuk menuju
pemerintahan yang accountable sesuai dengan prinsip good governance.
Debirokratisasi dengan deregulasi bagaikan dua permukaan sebuah mata
uang logam, dimana keduanya harus dilaksanakan beriringan secara silmultan, dan
kalau diibaratkan sebagai sebuah timbangan, maka keduanya harus mempunyai beban
berat yang sama, sehingga
keseimbangannya akan selalu tetap terjaga. Artinya seluruh aparat
birokrasi dalam melaksanakan pelayanan terhadap masyarakat tetap melakukannya
secara cepat, tepat dan murah dan dapat dipertangung jawabkan sesuai keinginan
masyarakat tanpa mengabaikan regulasi yang ada.
B. Rumusan
Masalah
Bagaimana
proses deregulasi dan debirokratisasi dari sudut pandang Sosiologi Hukum?
C. Tujuan
Untuk
mengetahui proses deregulasi dan debirokratisasi dari sudut sosiologi hukum.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Regulasi
dan Deregulasi
Kata regulasi
yang berasal dari regulation bermakna ‘tindakan pengurusan
dengan berbagai aturan (yang berkekuatan hukum).Unsur de- yang melekat
pada kata serapan dari bahasa asing, misalnya bahasa lnggris, bermakna (1)
‘melakukan hal yang sebaliknya’, (2) ‘mengalihkan sesuatu dari’, (3)
‘mengurangi’, (4) ‘suatu ubahan dari’, dan (5) ‘keluar dari’. Jadi, debirokratisasi
bermakna ‘tindakan atau proses mengurangi tata kerja yang serba lamban dan
rumit agar tercapai hasil dengan lebih cepat’, sedangkan deregulasi bermakna
‘tindakan atau proses menghilangkan atau mengurangi segala aturan’.Perlu
diingat bahwa pada kedua bentuk itu sudah terkandung makna tindakan.
Semenjak
dilahirkan, manusia sudah mempunyai
hasrat untuk hidup secara teratur. Hasrat atau kehendak untuk hidup secara
teratur itu timbul baik dari pikiran maupun perasaannya. Akan tetapi, dalam kenyataannya kehidupan teratur bagi
manusia tertentu, mungkin tidak sama dengan keteraturan menurut pendapat orang
lain. Apabila keadaan demikian dibiarkan, maka akan timbul kekacauan, karena
benturan dan bahkan bentrokkan kepentingan-kepentingan.
Untuk mecegah
dan mengatasi terjadi benturan atau bentrokan kepentingan-kepentingan, manusia
menyusun kaidah-kaidah atau norma-norma. Kaidah atau norma merupakan patokan
bersikap dan melakukan tindakan yang pantas, dan untuk mengukur sikap dan
tindakan manusia yang sesuai.
Dalam perkembangannya,
timbul kaidah-kaidah yang mengatur diri pribadi manusia dan hubungan antar
pribadi. Kaidah-kaidah kepercayaan dan kesusilaan. Kaidah kepercayaan agar
manusia menganut kehidupan yang beriman, sedangkan kaidah kesusilaan bertujuan
agar manusia mempunyai hati nurani (Conscience) yang bersih.
Kaidah-kaidah
yang mengatur hubungan antar pribadi, terdiri dari kaidah-kaidah kesopanan dan
hukum. Kaidah kesopanan bertujuan agar terjadi kelancaran dalam pergaulan
hidup. Hukum sebagai kaidah bertujuan agar pergaulan hidup tetap berlangsung
secara damai. Kedamaian itu diperoleh, apabila terjadi keserasian antara
ketertiban (kedisiplinan, keterikatan) dengan ketentraman (kebebasan).
Hal tersebut
yang berintikan pada pembentukan dan penegakkan kaidah-kaidah dalam kehidupan
manusia maupun pergaulanny, secara sosiologis disebut pengaturan atau regulasi
kehidupan manusia. Regulasi mungkin timbul dari masyarakat sendiri, sebagai
akibat kebiasaan yang telah dipelihara lama ataupun adat istiadat.
Aturan-aturan yang merupakan abstraksi kebiasaan atau adat istiadat itu
ditegakkan oleh pihak-pihak tertentu yag diakui kekuasaannya oleh masyarakat.
Akan tetapi,
dilain pihak mungkin regulasi juga datang dari kalangan yang berkuasa dalam
suatu masyarakat. Kegiatan atau proses menciptakan suatu peraturan-peraturan
dari “atas” yang berupa ketentuan-ketentuan yang berupa abstrak yang berlaku
umum, lazimnya disebut regeling (pengaturan)
atau perundang-undangan dalam arti luas.
Kegiatan atau
proses untuk menciptakan ketentuan-ketentuan
yang kongkret yang disebut keputusan. Keputusan dapat dirinci dalam tiga
bidang, yakni:
1) Bidang
Pemerintahan yang bentuknya adalah:
a. perizinan
b. pembebanan
c. penentu
kedudukan
d. pembuktian
e. pemilik
dalam pengadaan dan pemeliharaan perlengkapan (administratif)
2) Bidang
kepolisian yang mencakup proses
pencegahan dan proses penindakan suatu kejadian yang menggangu
kemantapan pada umumnya atau kehidupan pribadi.
3) Bidang
Peradilan
Apabila
diadakan deregulasi yang beraati
melonggarkan atau meniadaka regulasi. Pada kenyataan sekarang ini menunjukkan
bahwa diartikan sebagai pelonggaran penegakkan kaidah-kaidah dengan merumuskan
peraturan-peraturan baru. Seharusnya pelonggaran tersebut diberi bentuk paling
sedikit sama dengan peraturan terdahulu.
Apabila
diberi bentuk yang lain, baik secara sosiologis maupun yuridis terjadi
inkonsistensi. Secara sosiologis sudah dikenal bahwa suatu undang-undang
peringkatnya lebih tinggi dari pada peraturan pemerintah. Kalau yang telah
diatur oleh undang-undang kemudian diadakan regulasi, semesrtinya itu juga
dilakukan dalam peraturan pemerintah. Apabila dilakukan dengan peraturan yang
lebih rendah peringkatnya, maka wibawa peraturan yang lebih tinggi akan
merosot, walaupun proses penyelesaian masalah menjadi sederhana (namun sifatnya
tetapnya sementara atau ad hoc, dan hanya merupakan suatu reaksi terhdap gejala
yang timbul).
B. Birokrasi
dan debirokratisasi
Kata birokrasi
berasal dan kata bureaucracy yang bermakna ‘administrasi yang
dicirikan oleh kepatuhan pada aturan, prosedur, dan jenjang kewenangan
sehingga sering mengakibatkan kelambanan kerja, kerumitan perolehan hasil, dan
penundaan gerak; sedangkan kata birokratisasi yang berasal dan bureaucratization
bermakna ‘hasil tindakan yang berhubungan dengan, atau yang bercorak birokrasi’.
Secara
sosiologis birokrasi merupakan suatu lembaga yang berproses. Birokrasi secara
ideal memiliki ciri-ciri berikut:
a. Tujuannya
dirumuskan secara eksplisit, objektif, dan diketahui oleh umum. Tujuan-tujuan
tersebut harus dirimuskan secara tertulis dan sifatnya resmi, sehingga semua
unsur-unsur birokrasi ikut bertanggung jawab terhadap pencapaian tujuan.
b. Secara
hierarkis terdapat ketentuan-ketentuan yang tegas mengenai wewenang dan
tanggung jawab. Kekuasaan dan wewenang setiap lapisan dirumuskan secara jelas
dan sederhana, sehingga mudah dikomunikasikan.
c. Peraturan-peraturan
yang dirumuskan senantiasa berkaitan dengan hakikat dan tujuan organisasi, dan
dapat dijadikan patokan dalam bersikap dan bertindak.
d. Wewenang
atau kekuasaan bersifat legal dan rasional.
e. Karier
pegawai birokrasi berlandaskan pada profesionalisme dan
pengangkatan-pengangkatan didasarkan pada kemampuan, keterampilan, dan
prestasi.
f. Pengambilan
keputusan dilakukan secara sistematis dan dilandaskan pada data yang akurat,
dengan memperhitungkan akibat-akibatnya di masa mendatang.
Ciri-ciri
diatas digunakan oleh setiap organisasi yang menganut pembagian kerja. Apalagi
dalam kehidupan bernegara birokrasi sangat diperlukan, karena tujuannya adalah
untuk melancarkan komunikasi antara masyarakat umum dengan penguasa dan antar
unsur-unsur penguasa.
Akan
tetapi, dalam kenyataan suatu lembaga yang disebut birokrasi menjadi penghalang
terhadap kelancaran hubungan masyarakat dengan penguasa. Biasanya lembaga yang
disebut birokrasi tidak fungsional , ciri-cirinya sebagai berikut:
a. Tujuannya
bersifat ad hoc dan tergantung pada kepentingan pribadi oleh tokoh-tokoh
bisnis, politik, militer, dst.
b. Hierarki
sangat luwes, karena tergantung pada selera pemegang kekuasaan sehingga
wewenang dan tanggung jawab tidak dirumuskan secara tegas.
c. Peraturan-peraturan
tidak sistematis dan tidak ditegakkan secara selektif, karena sangat ditentukan
oleh partikularisme.
d. Wewenang
bersifat tradisional dan kharismatis
e. Karier
bersifat nonprofesional dan pekerjaan
dikerjakan berdasarkan selera atasan.
f. Pengambilan
keputusan bersifat intuitif dan ad hoc, tanpa terlalu memikirkan akibatnya di
masa mendatang.
Apabila suatu birokrasi mempunyai ciri-ciri seperti
diatas, prosesnya disebut red-tape,
merupakan penghalang bagi kelancaran proses. Sudah jelas hal itu memerlukan
perubahan. Tetapi perubahanya tidak selalu dapat disebut debirokratisasi,
karena istilah itu adalah penghapusan birokrasi
atau melonggarkan birokrasi.
Debirokratisasi dalam pengertian
penghapusan atau pengurangan hambatan yang terdapat dalam sistem birokrasi di
era reformasi, mutlak diperlukan dalam rangka mensejahterakan masyarakat, untuk
mempercepat akselerasi pembangunan dan untuk menghilangkan konotasi negatif
dimana birokrasi dianggap suatu hal yang mengakibatkan berbelit-belitnya
pelayanan kepada masyarakat.
Banyak hal yang dapat dilakukan, yang
paling utama peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), hal ini sangat
penting mengingat SDM adalah sebagai aktor utama pelaksana teknis dilapangan
yang menjadi ujung tombak berhasil atau tidaknya penerapan debirokratisasi di
dalam sebuah system pemerintahan.
Lalu revisi ketentuan-ketentuan
(deregulasi) yang disesuaikan dengan dinamika masyarakat yang menuntut adanya
kemudahan, kecepatan, biaya murah serta akurat sehingga diharapkan tidak
mengakibatkan meningkatnya biaya produksi dalam segala hal. Pembentukan lembaga
pelayanan satu pintu juga merupakan suatu hal yang diperlukan.
Contoh kasus
Kebijakan debirokratisasi yang
pernah dilakukan pemerintah pusat adalah, Presiden gusdur yang pernah
membubarkan Departemen Sosial dan Departemen Penerangan. Departemen sosial
dianggap ladang korupsi dan Departemen penerangan dianggap sebagai lembaga
anti-demokrasi karena tempat pembredelan media massa.
Hal ini dilakukan gusdur untuk
mengoptimalkan pemerintahannya terhadap pelayanan masyarakat. Namun kebijakan
ini banyak di tentang oleh berbagai pihak, karena dinilai salah sasaran. Bukan
lembaganya yang harus di ubah tapi system peraturan dan pengawasan maupun
orang-orang yang terlibat didalamnya yang harus dihijaukan.
Kebijakan deregulasi yang dilakukan pemerintah adalah.
Pada 4 Juni tahun 1996 pemerintah orde baru mengeluarkan 11 langkah
kebijakan deregulasi. Meliputi :
(1) penjadwalan penurunan tarif bea masuk,
(2) perubahan tarif bea masuk barang modal,
(3) penghapausan bea masuk tambahan,
(4) penyederhaan tata niaga impor,
(5) ketentuan anti-dumping,
(6) kemudahan ekspor,
(7) kemudahan layanan eksportir tertentu untuk bidang
tertentu,
(8) penyederhanan perijinan industri di kawasan
industri,
(9) peneyelenggaran temapt penimbunan,
(10) kelonggaran kegiatan ekspor-impor bagi perusahaan
PMA manufaktur,
(11) penyerdahanaan prosedur impor limbah untuk bahan baku industri. Untuk
penurunan tarif bea masuk, telah ditrunkan
sebanyak 1.497 pos tarif dari 7.288 pos tarif.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Birokrasi Indonesia membutuhkan kesegaran dalam system
pelayanan yang lebih baik, karena itu yang diperlukan oleh masyarakat kita
dewasa ini. Debirokrtisasi dan deregulasi merupakan salah satu cara dari sekian
banyak cara untuk menekankan pelayanan yang maksimal pada masyarakat demi
terciptanya pemerintahan yang sebenarnya. Berbagai kebijakan debirokratisasi
dan deregulasi memberikan kemajuan maupun terkesan lambat dapat kita
aspirasikan dan memberikan dukungan.
Dengan adanya program reformasi birokrasi masyarakat
dapat berharap bakal ada perubahan dalam bentuk kemuajuan secara besar
terhadap pelayanan publik nanti. Berbagai kegiatan yang menyangkut dengan
proses pelayanan publik akan mendapatkan tempat yang semestinya bila
debirokratisasi dan deregulasi dapat berjalan dengan lancar dan reformasi
birokrasi benar-benar dilakukan dengan baik.
Secara sosiologis hukum deregulasi dan debirokratisasi tidaklah
terbatas pada pelonggaran-pelonggaran. Masalahnya adalah pada mulanya terjadi overregulation dan overbureaucratization. Artinya terlalu banyak peraturan dan
prosedur birokratis.
B. Saran
Hendaknya yang
dilakukan bukan hanya penyederhanaan atau pelonggaran, tetapi peninjauan
kembali dan pemantapan. Hal ini perlu dipertimbangkan, supaya tidak terjadi deregulasi
dan debiroratisasi yang terlampau banyak.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Soekanto,
Sarjono. 2012. Pokok-pokok Sosiologi
Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
2. Anwar,
Yesmil.dkk. 2007. Pengantar Sosiologi
Hukum. Jakarta: Grasindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar