My Friend

Rabu, 16 Desember 2015

Pengertian Tes, Pengukuran, Penilaian dan Evaluasi



Pengertian Tes, Pengukuran, Penilaian dan Evaluasi
Menurut Allen & Yen, 1979 (Djemari Mardapi, 2008:1) “Pengukuran adalah penetapan angka dengan cara yang sistematik untuk menyatakan keadaan individu”; keadaan itu dapat mencakup kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor. Kini telah dikembangkan untuk kemampuan mengendalikan emosi.
Menurut TGAT, 1987 (Djemari Mardapi, 2008:1) penilaian atau asesmen mencakup semua cara yang digunakan untuk menilai unjuk kerja individu atau kelompok. Prosesnya meliputi pengumpulan bukti-bukti tentang pencapaian belajar peserta didik yang didapatkan dengan cara tes maupun non tes. Definisi asesmen berkaitan dengan semua proses pendidikan, seperti karakteristik peserta didik, karakteristik metode mengajar, kurikulum, fasilitas, dan administrasi. 
Evaluasi merupakan tindakan penetapan nilai atau implikasi suatu perilaku, baik individu atau lembaga. Pengukuran, penilaian dan evaluasi menurut Griffin dan Nix, 1991 (Djemari Mardapi, 2008:1) adalah bersifat herarkhi atau berjenjang. Pengukuran adalah tindakan membandingkan hasil pengamatan dengan kriteria, sementara penilaian atau asesmen adalah tindakan menafsirkan atau menjelaskan hasil pengukuran, dan evaluasi adalah penetapan tentang nilai atau implikasi dari perilaku hasil pengukuran dan penilaian. Jadi setiap tindakan evaluasi selalu didahului oleh tindakan pengukuran dan penilaian, sehingga di sini menjadi jelas bahwa tindakan penilaian harus didahului oleh tindakan pengukuran.

1. Tes
Tes dapat didefinisikan sebagai suatu pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk memperoleh informasi tentang trait atau atribut pendidikan atau psikologi yang setiap butir pertanyan atau tugas itu mempunyai jawaban atau ketentuan yang dianggap benar (Zainul & Nasution, 2001: 3). Sebagai konsekuensinya setiap tes menuntut adanya tanggapan atau respon dari peserta didik (subjek yang dikenai tes) dan karenanya disimpulkan sebagai trait yang dimiliki oleh peserta didik atau subjek yang sedang dicari informasinya. Oleh sebab itu jika ada tugas atau pertanyaan yang harus dikerjakan oleh peserta didik tetapi tidak ada jawaban atau tidak ada respon berupa jawaban yang benar atau salah, maka hal itu bukanlah tes. Miller (2008: 1) menyatakan bahwa:
“tests are formal assessment instruments used to judge students’ cognitive ability in an academic discipline as well as to gather quantitative information about student’ psychomotor performance (physical skills) and affective characteristics (e.g. attitudes, emotions, interests, and values).

Tes pada umumnya terdiri dari seperangkat himpunan pertanyaan, pernyataan, atau tugas yang diadministrasikan dan dikenakan kepada peserta didik atau sekelompok peserta didik. Berhubung adanya kendala keterbatasan waktu dan faktor lainnya, tes hanya mengukur sebagian saja (sampel) dari suatu perilaku objek pengukuran. Jadi tes memiliki keterbatasan, tidak mampu mengukur semua informasi tentang apa yang sudah dipelajari oleh peserta didik, kecuali hanya dipilih sebagai sampel dari objek kawasan yang telah dipelajari oleh peserta didik. Untuk dapat mewakili kawasan atau objek yang dicari informasinya dari apa yang telah dipelajari oleh peserta didik maka digunakanlah kisi-kisi tes atau blue print test dalam merancangnya.

2. Pengukuran
            Hampir setiap hari kita selalu berhadapan dengan tindakan pengukuran. Saat kita akan berangkat ke kuliah kita sudah punya kriteria waktu yakni jam berapa harus tiba di kampus, misalnya jam 8.00. Atas dasar kriteria ini kita mempertimbangkan jam berapa harus mulai berangkat dari rumah jika jarak tempuh rumah dengan kampus 30 kilometer. Apabila diperkirakan kondisi jalan lancar tidak macet dan kecepatan rata-rata per kilometer 60 km/jam, berarti berangkat dari rumah paling tidak harus pukul 7.30. Contoh semacam ini adalah salah satu tindakan yang di dalam tindakan itu ada unsur pengukuran. Contoh yang lain, pada saat kita akan membeli kertas untuk membuat tugas paper kita mencari kertas yang berukuran kwarto dan bukan yang folio. Tindakan memilih ukuran kertas yang kwarto ini telah melalui tindakan pengukuran yakni membanding ukuran panjang dan lebar kertas yang sesuai dengan ketentuan ukuran kertas yang dipersyaratkan dalam pembuatan paper. Jika demikian, apa sebenarnya pengukuran itu?
            Pengukuran pada dasarnya merupakan kegiatan penentuan angka bagi suatu objek secara sistematik, untuk menggambarkan karakteristik objek tersebut. Dalam penentuan karakteristik pada objek pengukuran, sedapat mungkin dihindari adanya kesalahan pengukuran. Kesalahan pengukuran bersumber dari alat ukur, cara mengukur, dan kondisi objek yang diukur (Djemari Mardapi, 2008:2). Sementara ahli lain Miller (2008: 2) membuat definisi pengukuran sebagai berikut:
“Measurement is a quantitative description of an individual’s achievement on a single test or multiple assessments (e.g. a student answered 9 to 10 or 90% of the test questions correctly).

Hasil pengukuran melalui tes dan penilaian (asesmen) digunakan untuk melihat unjuk kerja atau sebagai dasar pemberian nilai (grade). Informasi dari hasil pengukuran juga dapat digunakan untuk: (1) memantau kemajuan belajar peserta didik, (2) membantu perencanaan pengembangan karir peserta didik, (3) mengelompokan peserta didik berdasarkan minat, sikap, dan kesiapannya, (4) membuat keputusan tentang kebijakan pendidikan, (5) untuk perbaikan kurikulum, dan (6) untuk mengetahui efektivitas pengajaran.
Pada kegiatan evaluasi hasil belajar akan dihadapi masalah-masalah yang berkaitan dengan alat ukur yang digunakan, cara menggunakan, cara penilaian, dan evaluasinya. Alat ukur yang memenuhi kaidah pengukuran harus memiliki bukti kesahihan (validitas) dan kehandalan (reliabilitas).
            Kesahihan alat ukur dari segi konstruknya dapat dilihat sejauh mana alat ukur mengukur apa yang sebenarnya diukur. Secara teori pengukuran, substansinya harus satu dimensi (unidimensionality). Untuk melihat apakah tes memiliki sifat satu dimensi tentang konstruknya dapat dianalisis dengan pendekatan analisis faktor (factor analysis) atau dengan analisis konfirmasi faktor (confirmatory factor analysis). Analisis faktor dapat dilakukan dengan bantuan software SPSS dan analisis konfirmasi faktor dapat dilakukan dengan software AMOS atau Lisrel. Lebih lanjut telaah tentang konstruksi alat ukur dapat ditinjau dari aspek materi, teknik penulisan soal, dan bahasa yang digunakan.
            Kesahihan alat ukur dari segi isi dapat dilihat dari kisi-kisinya. Kisi-kisi alat ukur berisi tentang materi yang diujikan, bentuk soal, tingkat berpikir yang diacu, bobot soal, dan cara penskoran. Kisi-kisi dikatakan baik jika sudah mewakili cakupan bahan ajar. Cakupan bahan ajar yang dipilih dengan kriteria (1) pokok bahasannya esensial, (2) memiliki nilai aplikasi, (3) berkelanjutan, dan (4) dibutuhkan untuk mempelajari matapelajaran lain. Lamanya waktu untuk mengerjakan soal juga perlu menjadi kriteria.
            Alat ukur yang baik, memiliki kesalahan pengukuran minimal dan hasil pengukuran cenderung konstan walaupun dipakai berulang-ulang pada tingkat kemampuan objek yang relatif tetap. Kesalahan pengukuran dapat bersifat acak dan bersifat sistematik. Kesalahan pengukuran mengakibatkan under atau over estimate hasil pengukuran. Kesalahan acak bersumber dari variasi kondisi fisik dan mental subjek yang diukur dan yang mengukur. Kesalahan sistematik bersumber dari alat ukurnya, yang diukur, dan yang mengukur. Contoh kesalahan sistematik, misalnya memberi skor murah atau mahal pada semua peserta didik. Jika murah atau mahal untuk kelompok tertentu, maka telah terjadi bias pengukuran. Berdasarkan kenyataan betapa rumitnya melakukan pengukuran yang acapkali mengandung kesalahan sistematik dan acak, muncullah teori pengukuran. Ada dua teori yang bebeda asumsi kini telah banyak ditelaah orang, yakni teori tes klasik atau clacical test theory (CTT) dan teori modern atau item response theory (IRT).
            Teori tes klasik berasumsi  bahwa (a) skor yang diperoleh individu dari hasil pengukuran dapat diurai menjadi skor sebenarnya dan skor kesalahan, (b) tidak ada hubungan antara skor yang sebenarnya dengan skor kesalahan. Berangkat dari dua asumsi ini maka berkembanglah rumus-rumus untuk menghitung tingkat kesahihan (validitas) dan tingkat kehandalan (reliabilitas).
            Teori tes klasik memiliki kelemahan, antara lain: (a) ketergantungan statistik butir pada karakteristik kelompok yang diukur, akibatnya besaran statistik butir bervariasi dari satu kelompok terhadap kelompok yang lain, lebih lanjut sulit membandingkan kemampuan kelompok atau individu yang satu dengan yang lain. Kelemahan ini telah dirasakan untuk pengukuran pada objek alam (karakteristiknya lebih konstan) dan semakin dirasakan jika objek pengukuran adalah manusia (karakteristiknya labil). Atas dasar kelemahan ini maka dikembangkan oleh para pakar tentang teori tes modern (IRT) dengan mengacu dan berusaha mengembangkan analisis untuk estimasi kemampuan seseorang tanpa dipengaruhi oleh alat ukur yang digunakan. Statistik butir diupayakan juga tidak tergantung pada karakteristik individu yang diukur.

3. Penilaian
Usaha peningkatan mutu pendidikan dapat ditempuh dengan berbagai cara antara lain dengan peningkatan kualitas pembelajaran dan sistem penilaiannya. Antara keduanya terdapat hubungan timbal balik, kondisi sistem pembelajaran yang baik memberi dampak pada hasil belajar yang baik, hasil penilaian menjadi tolok ukur kualitas sistem pembelajaran. Sistem pembelajaran yang baik akan memotivasi pendidik untuk memilih strategi mengajar dan memotivasi peserta didik yang paling tepat. Jadi peningkatan sistem penilaian merupakan hal yang urgen atau penting untuk peningkatan mutu pendidikan.
Penilaian meliputi semua cara untuk menilai unjuk kerja atau hasil kerja yang berfokus pada individu yakni prestasi belajar yang dicapai individu. Prosesnya adalah menghimpun bukti-bukti tentang pencapaian belajar peserta didik antara lain melalui tes, pengamatan dan laporan diri. Penilaian yang baik memerlukan data dan proses pengukuran yang baik.
Menurut Bento, 1994 (Djemari Mardapi, 2008:6) penilaian mulai dikenal sebagai cara membelajarkan seseorang dirintis oleh staf pengajar Fakultas Alverno sejak 20 tahun yang lalu. Ini merupakan contoh bagaimana mengubah lembaga melalui program penilaian. Terkait dengan itu, menurut Chittenden, 1991 (Djemari Mardapi, 2008:6) kegiatan penilaian dalam pembelajaran perlu diarahkan kepada: (1) penelusuran; yakni menelusuri kesesuaian proses pembelajaran dengan rencana, (2) pengecekan, yakni mencari informasi tentang kekurangan pada peserta didik selama proses pembelajaran, (3) pencarian, yakni mencari dan menemukan penyebab kekurangan yang timbul dalam proses  pembelajaran, dan (4) penyimpulan, yakni menyimpulkan tentang tingkat pencapaian belajar peserta didik.
Peningkatan mutu pendidikan memerlukan alat ukur yang sahih (valid) dan handal (reliabel). Pada sisi lain terdapat 2 acuan yang digunakan untuk penilaian, yakni acuan norma (norm reference test) dan acuan kriteria (creterion reference test). Penafsiran hasil tes antara kedua acuan ini berbeda (karena asumsi yang digunakan berbeda) sehingga informasi yang didapat juga berbeda. Penggunaan acuan yang mana yang tepat, tergantung pada karakteristik kemampuan pada bidang studi yang diukur dan tujuan yang ingin dicapai.

4. Evaluasi
 Sebagaimana telah disebut di atas bahwa evaluasi bertujuan untuk meningkatkan kinerja individu atau lembaga, sehingga kegiatan evaluasi merupakan rangkaian kegiatan dalam meningkatkan kualitas  kinerja, atau produktivitas lembaga dalam melaksanakan program. Titik sentral dari evaluasi adalah individu. Dalam konteks pendidikan kinerja yang dievaluasi adalah menyangkut individu berupa hasil belajar dalam kelompok atau kelas. Hasil evaluasi akan menyajikan informasi tentang seberapa jauh pencapaian program dan informasi pencapaian program ini menjadi bahan informasi untuk perbaikan atau pengayaan program.
Para ahli ada keselarasan dalam menjelaskan pengertian evaluasi. Griffin & Nix, 1999 menyatakan evaluasi adalah judgement terhadap nilai hasil dari tindakan pengukuran; sedangkan menurut Tyler, 1950 menyebutkan evaluasi sebagai proses penentuan sejauh mana tujuan pendidikan telah dicapai (Djemari Mardapi, 2008: 8-9). Djemari Mardapi, 2008 menyimpulkan bahwa evaluasi didefinisikan sebagai proses mengumpulkan informasi untuk mengetahui pencapaian belajar kelas atau kelompok. Hasil evaluasi diharapkan dapat mendorong pendidik untuk mengajar lebih baik dan memotivasi peserta didik untuk belajar lebih baik. Jadi evaluasi menyajikan informasi untuk kepentingan evaluasi program pembelajaran bagi kelas dan pendidik untuk meningkatkan kualitas proses belajar mengajar.
Berhubung hasil evaluasi program pembelajaran bersifat multi dimensi, maka evaluasi yang hanya membandingkan antara unjuk kerja dan tujuan, telah mendapatkan kritik para ahli karena terlalu menyempitkan persoalan dalam ragam kasus di bidang pendidikan. Hasil program pembelajaran beragam, ada yang terkait langsung dengan tujuan pendidikan (intended) dan ada yang tidak (unintended), selain itu ada yang berdampak positif dan ada yang berdampak negatif. Oleh karena itu cara pendekatan evaluasi yang goal free lebih tepat digunakan untuk mengevaluasi program pembelajaran, karena betapa pun tujuan program untuk meningkatkan prestasi belajar, tetapi masih ada tujuan atau dampak ikutan lain berupa rasa percaya diri, kreativitas, kemandirian, keuletan dan sebagainya. Astin (1993) mempertegas bahwa cakupan evaluasi untuk program pembelajaran di sekolah setidaknya meliputi masukan, lingkungan sekolah, dan keluarannya. Orientasi evaluasi saat ini sering hanya mengarah pada ranah kognitif dan jarang kepada ranah afektif, berhubung ranah afektif sulit mengukurnya walaupun juga penting bagi evaluator untuk memenuhi tujuan peningkatan kualitas dan kinerja lembaga. Lingkungan sekolah baik iklim akademik dan iklim sosial, sama-sama memiliki peranan yang tidak bisa diabaikan. Iklim akademik menunjuk pada kegiatan akademik baik di dalam kelas mau pun di luar kelas, sementara iklim sosial adalah terciptanya hubungan sosial antara pendidik, peserta didik dan sivitas akademik yang lain di sekolah.
Ditilik dari cakupannya, evaluasi bisa bersifat makro dan mikro. Evaluasi makro cenderung menggunakan sampel dalam melakukan telaah suatu program dan dampaknya, dengan sasaran program pendidikan yang dirancang untuk memperbaiki bidang pendidikan. Pada sisi lain evaluasi mikro biasanya digunakan untuk evaluasi di tingkat kelas, yaitu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil belajar peserta didik baik ranah kognitif maupun ranah yang lain.
Terdapat dua kategori evaluasi pengajaran, yakni evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif bertujuan untuk memperbaiki proses belajar mengajar sehingga sifatnya on going mengikuti proses, dan dengan demikian dapat diketahui tujuan-tujuan belajar yang masih belum dicapai dan yang sudah dicapai sehingga dapat dilakukan tindakan perbaikan atau remidi dan pengayaan lanjut. Evaluasi sumatif bertujuan mengetahui tingkat pencapaian hasil belajar setelah seluruh proses kegiatan belajar mengajar terselesaikan, sehingga sifatnya adalah sesaat atau snap shoot pada akhir dari seluruh proses kegiatan. Implikasi dari evaluasi sumatif akan diperoleh ketetapan lulus atau tidak lulus bagi peserta didik. Agar peserta didik dapat terlibat belajar dalam iklim akademik dengan baik, maka dalam kepentingan kegiatan pengukuran dan penilaian kepada mereka perlu dijelaskan di awal pengajaran tentang pentingnya penentuan nilai akhir. Komponen-komponen penilaian, bobot penilaian dan cara pendekatan yang digunakan dalam penilaian perlu diberitahukan kepada peserta didik.
Thorndike telah menyitir melalui teori belajar behavioristiknya, dalam hukum belajar “law of effect” dinyatakan bahwa dampak dari evaluasi ada dua: (1) jika hasilnya baik atau sukses, maka akan memberikan motivasi yang semakin kuat bagi peserta didik; tetapi (2) jika hasilnya jelek atau gagal, maka akan menimbulkan frustrasi bagi peserta didik. Hasil evaluasi dengan demikian dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik peserta didik, yakni yang naik motivasi belajarnya, yang tetap, dan yang menjadi turun motivasinya. Atas dasar ini maka dibutuhkan suatu sistem evaluasi yang dapat memenuhi tujuan untuk pendorong peningkatan kualitas pendidikan secara menyeluruh yang berangkat dari acuan hasil belajar peserta didik dibandingkan dengan acuan kriteria, sehingga dapat dicari kelemahan dan keunggulan dalam proses kegiatan belajar-mengajar dan dicari upaya untuk penanggulangan kelemahannya.

Karya Tulis mahasiswa berambut gondrong



BAB I PENDAHULUAN


1.1.  Latar Belakang

Gondrong dalam artian adalah rambut panjang dan umunya adalah sebutan dari laki-laki yang memiliki rambut panjang diatas rata-rata lelaki yang pada umumnya berambut pendek. Tetapi ketika wanita berambut panjang tidak dipanggil gondrong meskipun rambutnya panjang, hal ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari, orang tidak pernah menyebut wanita dengan sebutan gondrong rambutnya, tetapi lebih melekat kepada laki-laki yang memiliki rambut panjang dengan sebutan gondrong.
Pada umumnya rambut yang panjang itu diidentikkan  dengan wanita, seperti sudah tertanam dalam pikiran masyarakat kita bahwa yang mempunyai kodrat berambut panjang itu adalah wanita. Umumnya seorang laki-laki dengan rambut gondrong dikatakan urakan dan dianggap bukan pria baik-baik  Sehingga jika ada laki-laki yang berambut panjang dianggap menyimpang dalam masyarakat. Menurut kamus besar Indonesia gondrong berarti “panjang karena lama tidak dipangkas, terutama bagi rambut laki-laki”.
Pada zaman dahulu lelaki dengan rambut gondrong itu biasa. Rambut, sejak lama, sudah menjadi semacam simbol status bagi berbagai bangsa di dunia ini. Di Jepang, memotong rambut berarti simbol kekalahan, Para prajurit Suku Indian memanjangkan rambut mereka, dihiasi dengan bulu burung dan manik-manik, sebagai simbol kekuatan, Rambut dapat melambangkan kekuatan, kejantanan, kemakmuran, dan kelas.
Namun menurut Reid dalam bukunya mengenai rambut dia menyimpulkan, jika kehadiran dua agama besar, yaitu Islam dan Kristen, merupakan salah satu faktor menghilangnya kebiasaan memanjangkan rambut kaum pria di Asia Tenggara selama abad ke-16 dan17. Reid menambahkan, hilangnya tradisi “gondrong” mungkin pula disebabkan proses sekularisasi yang mengait dengan proses urbanisasi. Tubuh, termasuk rambut di dalamnya, kata Reid, tak lagi dipandang sebagai sumber kekuatan magis yang mesti dibedakan secara alam hewani, melainkan sebagai sebuah sarana netral yang alamiah bagi jiwa transenden.
Perubahan pandangan tentang simbol-simbol yang dulu sering dipakai, berkelanjutan hingga saat ini. Seperti di lingkungan FKIP Unlam Banjarmasin yang menjadikan aturan bahwa seorang laki-laki tidak  diperbolehkan berambut panjang karena terlihat tidak rapi dan indah terlebih lagi FKIP adalah lingkungan pendidikan seorang guru yang akan di gugu dan tiru oleh siswanya. Di FKIP memiliki aturan bahwa mahasiswa dan mahasiswi harus berpenampilan rapi baik dari segi rambut maupun pakaian, karena untuk mencerminkan pribadi seorang guru. Namun pada kenyataannya dilingkungan FKIP Unlam Banjarmasin yang seharusnya Mahasiswa berpenampilan rapi tetapi ada saja  mahasiswa yang terihat kurang rapi dengan rambut panjangnya ,tetapi mereka terlihat percaya diri seakan tidak ada perbedaan antara mereka dan mahasiswa lainnya.
Oleh karena itu, peniliti tertarik untuk meneliti tentang laki-laki berambut panjang, khususnya untuk mengetahui latar belakng sosial yang mempengruhi mereka memanjangkan rambutnya. Berdasarkan data lapangan yang telah didapat mahasiswa FKIP Unlam jurusan Ilmu Sosial angkatan 2013 yang berambut panjang berjumlah 9 orang dari 322 mahasiswa angkatan tersebut.

1.2.  Pertanyaan

Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan pertanyaan sebagai berikut, yaitu :

1.2.1.Bagaimana latar belakang sosial mahasiswa jurusan Pendidikan Ilmu sosial di FKIP Unlam yang memilih berambut panjang (gondrong)?



BAB II KERANGKA PEMIKIRAN


2.1.  Teori Sosialisasi

Sosialisasi adalah suatu proses yang diikuti secara aktif oleh dua pihak: pihak pertama adalah pihak yang mensosialisasi, dan pihak kedua adalah pihak yang disosialisasi. Aktivitas pihak yang mensosialisasi seperti telah kita ketahuidisebut aktivitas melaksanakan sosialisai, sedangkan aktivitas yang disosialisasi disebut aktivita internalisasi (Narwoko & Suyanto. 2004: 56).
Menurut Narwoko dan Suyanto (2004 : 57) Aktivitas-melaksanakan sosialisasi dikerjakan oleh person-person tertentu, yang –sadar atau tidak- dalam hal bekerja “mewakili” masyarakat. Mereka ini bisa dibedakan menjadi dua, yaitu:
  1. Person-person yang memiliki wibawa dan kekuasaan atas individu-individu yang disosialisasi. Musalnya, Ayah, ibu, Guru, Atasan, Pemimpin dan sebagainya.
  2. Person-person yang memiliki kedudukkan sederajat (kurang lebih sederajat) dengan individu-individu yang tengah disosialisasi. Misalnya, saudara sebaya, kawan sepermainan, kawan sekelas, dan sebaginya.
Media sosialisasi merupakan tempat dimana sosialisasi itu terjadi atau disebut juga sebagai Agen sosialisasi (agent of sosialization) atau sarana sosialisasi. Yang dimaksud Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang membantu seorang individu menerima nilai-nilai atau tempat dimana seorang individu belajar terhadap segala sesuatu yang kemudian menjadikannya dewasa (Narwoko & Suyanto. 2004 : 72). Media sosialisasi yang utama adalah:
  1. Keluarga
  2. Kelompok bermain
  3. Sekolah
  4. Lingkungan kerja
  5. Media Masa

2.2.  Teori Interaksi

Interaksi sosial yang berlangsung rutin dan tindakan sosial yang dilakukan orang-orang, bagi ahli sosiologi adalah proses untuk membentuk kenyataan sosial yang perlu dipertanyakan dan dibongkar untuk kemudian merangkainya kembali dalam suatu bentuk analisis tertentu yang dapat diteliti, dan dikomunikasikan kepada orang lain, serta bisa diuji kembali kebenarannya (Narwoko&Suyanto. 2004 : 15).
Menurut Soejono Soekanto (2009), faktor yang mempengaruhi interaksi sosial ada enam macam, sebagai berikut:
1.      Imitasi
Imitasi adalah proses belajar dengan cara meniru atau mengikuti perilaku orang lain. Imitasi dapat berakibat positif bila yang ditiru merupakan individu-individu baik menurut pandangan umum. Tetapi imitasi juga bisa bersifat negatif jika individu yang ditiru berlawanan denganpandangan umum.
Contoh: banyak anak SMA mengikuti mode rambut artis dicat dan panjang bagi laki-laki.
2.      Sugesti
Sugesti adalah pemberian pengaruh pandangan seseorang kepada oranglain dengan cara tertentu, sehingga orang tersebut mengikuti pandangan/pengaruh tersebut tanpa berpikir panjang. Sugesti biasanya dilakukan dari orang-orang yang berwibawa dan mempunyai pengaruh besar di lingkungan sosialnya. Cepat atau lambat proses sugesti tergantung padausia, kepribadian, kemampuan intelektual, dan kemampuan fisik  seseorang. Sugesti dapat berupa berbagai bentuk sikap atau tindakan seperti perilaku, pendapat, saran, dan pertanyaan. Reklame dan iklan yang dimuat di media cetak, atau media elektronik juga merupakan salah satu bentuk sugesti yang bersifat massal.
Contoh: iklan sampo yang diperagakan oleh seorang yang seolah-olah rambutnya rontok, setelah memakai sampo tersebut rambutnya menjadi kuat/ tidak rontok dan tebal.
3.      Identifikasi
Identifikasi adalah kencenderungan atau keinginandalam diri seseoranguntuk menjadi sama dengan individulain yang ditiru. Orang lain yangmenjadi sasaran identifikasi disebut idola (dari kata idol yang berarti sosokyang dipuja). Identifikasi merupakan bentuk lanjut dari proses sugestidan proses imitasi yang telah kuat.
Contoh: seorang siswa yang mengagumi gurunya, sering mengidentifikasi dirinya seperti guru yang dikaguminya.
4.      Simpati
Simpati adalah perasaan tertarik yang timbul dalam diri seseorang dan membuatnya merasa seolah-olah berada dalam keadaan orang lain.Perasaan simpati dapat disampaikan kepada seseorang, sekelompok orang, ataulembaga formal pada waktu khusus misalnya peringatan ulang tahun kemerdekaan RI,kenaikan kelas, atau kenaikan jabatan.Agar simpati dapat berlangsung,diperlukan adanya saling pengertian antara kedua belah pihak. Pihak yang satu terbuka mengungkapkan pemikiran atau isi hatinya ,sedangkan pihak yang lain mau menerimanya. Itulah sebabnya simpati merupakan dasar-dasar persahabatan.
Contoh: perasaan simpati seorang perjaka terhadap gadis yang akhirnya menimbulkan perasaan cinta kasih di antara keduanya.
5.      Motivasi
Motivasi adalah dorongan, rangsangan, atau stimulus yang diberikan seseorang kepada orang lain, sehingga orang yang diberi motivasi menuruti atau melaksana kanapa yang dimotivasikan secara kritis,rasional, dan penuh rasa tanggung jawab. Motivasi dapat diberikan dari seorang individu kepada kelompok, kelompok kepada kelompok, individu kepada individu. Motivasi dapat berupa sikap, perilaku, pendapat,
saran, dan pertanyaan.
Contoh: penghargaan kepada siswa yang berprestasi merupakan motivasi bagi siswa untuk belajar lebih.
6.      Empati
Empati adalah proses kejiwaan seorang individu untuk larut dalam perasaan orang lain baik suka maupun duka.
Contoh: kalau kita melihat orang lain mendapat musibah,kita seolah-olah ikut menderita.

2.3.  Teori Imitasi (Teori Peniruan)

Semua orang memiliki kecenderungan yang kuat untuk menandingi (menyamai atau melebihi) tindakan disekitarnya. Imitasi memainkan peranan yang sentral dalam transmisi kebudayaan dan pegetahuan dari satu generasi kegenerasi berikutnya (Tarde : 1903).
Teori imitasi yang alamiah ini dalam perkembangannya secara bertahap ditinggalkan oleh para ahli psikologi dan digantikan dengan sejumlah kerangka teoritis yang mengemukakan bahwa kecenderungan untuk meniru orang lain adalah sesuatu yang dipelajari atau diperoleh melalui suatu proses pengkondisian agar orang melakukan peniruan terhadap perilaku tertentu. Salah satu problem mengenai teori imitasi adalah berkaitan dengan “bukti” penelitian yang ternyata diperoleh dalam situasi laboratory atau study yang bersifat eksperimen. Jadi studi yang dimaksud tidak dilakukan dalam situasi kehidupan nyata.
Menurut Soerjono soekanto imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Namun demikian, imitasi mungkin pula mengakibatkan terjadinya hal-hal yang negatif dimana misalnya, yang ditiru adalah tindakan-tindakan menyimpang.Selain itu, imitasi juga dapat melemahkan atau bahkan mematikan pengembanan daya kreasi seseorang. (Soejono Soekanto, 2009 : 37).


BAB III  PEMBAHASAN


3.1.  Latar belakang Mahasiswa FKIP Unlam memilih berambut panjang

3.1.1. Meniru Idola

Umumnya anak remaja ingin berusaha tampil seperti idolanya, mulai dari meniru gaya berpakaian hingga meniru gaya rambut  sang  idola. Menurut Randi Antariksa prodi Sosiologi dan Antropologi, M. Riswan Prodi Sejarah, Risky nugraha Prodi Sejarah, Rizal Ansari Prodi Sejarah mengatakan bahwa mereka memilih rambut godrong karena mengikuti gaya idolanya seperti kurt Cobain, Norman Reedus, dan Chandler Riggs yang memiliki rambut gondrong.
Berdasarkan hasil wawancara diatas maka terlihat faktor imitasi merupakan salah satu faktor  yang melatar belakangi seorang mahasiswa memanjangkan rambutnya. Imitasi adalah tindakan seseorang untuk meniru  orang lain, tindakan tersebut bisa bersifat positif maupun negatif. Tindakan tersebut dilakukan secara sadar oleh mereka dan adakalanya bertentangan dengan pandangan umum masyarakat seperti memanjangkan rambut bagi laki-laki.
Sejalan dengan pemikiran Soerjono Seokanto yang mengatakan  bahwa salah satu pengaruh    interaksi adalah Imitasi, yaitu proses belajar dengan cara meniru atau mengikuti perilaku orang lain. Imitasi dapat berakibat positif bila yang ditiru merupakan individu-individu baik menurut pandangan umum. Tetapi imitasi juga bisa bersifat negatif jika individu yang ditiru berlawanan dengan pandangan umum.
Mahasiswa ingin meniru idolanya karena terkadang idola dijadikan sebagai sumber inspirasi bagi mereka. Gaya hidup mereka seperti suatu panutan bagi para pengemar. Biasanya media masa menjadi salah satu sumber dimana mereka dapat melihat sosok yang mereka idolakan. Seperi televisi yang sering kali menampilkan berbagai keseharian para artis, pemain sepak bola, musisi dan sebagainya mulai dari keseharian mereka, gaya berpakaian hingga gaya rambut  yang kerap kali di ikuti oleh para penggemar atau para mahasiswa.

3.1.2. Identitas

Kita selalu berfikir bahwa rambut hanya lah tentang penampilan. Terutama bagi wanita, mereka mampu menghabiskan jutaan rupiah demi menjaga rambutnya tetap terlihat cantik dan panjang layaknya sebuah mahkota. Namun untuk sebagian kaum pria, rambut lebih dari sekedar mode. Kaum pria mempunyai pandangan yang lebih filosofis terhadap rambut panjang.
Rambut adalah salah satu bentuk cara untuk menafsirkan karakter seseorang. Kadang status kehidupan seorang laki-laki juga terlihat dari gaya rambut. Contohnya lelaki berambut pendek sering dipandang sebagai seorang yang senang berada dibawah aturan, pekerja harian, atau karyawan. Sedangkan laki-laki berambut panjang dipandang sebagai seorang yang senang membelot, seseorang yang berjalan di daerah seni, baik itu musik maupun teater atau memiliki pandangan diluar mainstream.
Menurut M.Riswan dari Sejarah, Rusmadi dari Bahasa Inggris dan  Risky dari Sejarah, mereka memanjangkan rambut sebagai bukti aktualisasi diri bahwa mereka seorang yang pecinta dan pelaku seni yang bebas berekspresi, jadi rambut gondrong memiliki nilai seni tersendiri bagi mereka.
Rambut adakalanya menentukan atau memberikan identitas bagi mereka. Dengan rambut panjang identitas positif yang melekat pada laki-laki adalah seseorang yang berjalan di jalan seni, baik dari segi music maupun teater. Seseorang yang berjalan di jalan seni itu terbebas dari segala hal, tidak ada larangan yang mengikat. Mereka bebas untuk berkreasi semampu mereka. Identitas bebas seperti itulah yang ingin di dapatkan oleh mereka.
Menurut Bob Marley seorang seniman yang memiliki rambut gondrong adalah mereka-mereka yang memang mencintai seni, mereka yang meluapkan hasrat untuk mengadakan keindahan, gondrong bagi seorang seniman merupakan luapan emosi, atau bahkan gondrong juga merupakan keindahan, keindahan yang bukan pada gondrong semata juga ditambah dengan pakaian atau busana, dan peralatan atau perlengkaapan yang lain yang mungkin bertentangan dengan penilaian masyarakat pada umumnya.  Tapi begitulah realitasnya mereka lebih senang berambut gondrong.
Bisa memiliki rambut yang panjang atau gondrong mungkin sudah menjadi salah satu pencapaian dan membuat merasa jauh lebih keren. Seseorang yang memiliki rambut gondrong merasa lebih bebas berekspresi, bisa gonta-ganti style. dan merasa lebih bebas dengan rambut gondrongnya.
           

3.1.3. Ingin terlihat berbeda

Setiap orang pasti ingin tampil berbeda dengan orang lain. Banyak hal yang mereka lakukan untuk tampil berbeda seperti memanjangkan rambut mereka. Menurut, Munadi dari Sendratasik seorang laki-laki dengan rambut panjang merasa bahwa ia memiliki karakter yang berbeda dengan yang lain. Jika seorang laki-laki berambut pendek dan tertata rapi maka laki-laki tersebut terlihat seperti laki-laki yang taat peraturan. Namun laki-laki degan rambut panjang tidak ingin dipandang seperti itu, ia berpandangan bahwa ia tidak terikat dengan aturan apaapun serta ia merasa memiliki pandangan diluar masyarakat pada umumnya (anti mainstream).
Seseorang yang berambut gondrong mengatakan bagi saya rambut gondrong tidak ada masalah karena mereka memaknai rambut gondrong itu merupakan luapan emosi saya, dengan rambut gondrong saya melihat diri saya yang sebenarnya, karakter yang tercermin dari penampilan saya, saya orangnya keras, dan saya suka rambut gondrong. Saya memiliki persepsi bahwa kebanyakan orang tertipu dengan apa yang nampak”.
Selain itu menurut Indra dari Sendratasik, dia memiliki rambut gondrong, tetapi dia kurang memahami alasan kenapa dia berambut gondrong, dan dia hanya beranggapan rambut gondrong itu keren, dan dengan dengan rambut gondrong terlihat lebih ganteng dari pada berambut pendek. Namun menurut Rifaldi dari Sendratasik rambut gondrong itu unik dan terlihat sangar dimata orang-orang, bahkan ada juga yang beranggapan bahwa rambut gondrong itu dimata wanita terlihat lebih memiliki daya tarik.
Mereka merasa berbeda dan memilki ciri khas tersendiri yang berbeda dari masyarakat pada umumnya. Mereka merasa perbedaan tersebut menjadikan mereka merasa unik dan merupakan bagian dari kepribadian mereka. Keunikan tersebutlah yang membentuk diri mereka dan membuat mereka merasa lebih menonjol sebagai individu.



BAB IV KESIMPULAN

Latar belakang Mahasiswa FKIP Unlam memilih berambut panjang, yaitu:

1.      Meniru Idol, pada umumnya anak remaja ingin berusaha tampil seperti idolanya, mulai dar meniru gaya berpakaian hingga meniru gaya rambut  sang  idola. Faktor imitasi merupakan salah satu faktor  yang melatar belakangi seorang mahasiswa memanjangkan rambutnya.

2.      Identitas, rambut adakalanya menentukan atau memberikan identitas bagi mereka. Dengan rambut panjang identitas positif yang melekat pada laki-laki adalah seseorang yang berjalan di jalan seni, baik dari segi music maupun teater. Seseorang yang berjalan di jalan seni itu terbebas dari segala hal, tidak ada larangan yang mengikat. Mereka bebas untuk berkreasi semampu mereka. Identitas bebas seperti itulah yang ingin di dapatkan oleh mereka.

3.      Ingin terlihat berbeda, mereka merasa berbeda dan memilki ciri khas tersendiri yang berbeda dari masyarakat pada umumnya. Mereka merasa perbedaan tersebut menjadikan mereka merasa unik dan merupakan bagian dari kepribadian mereka. Keunikan tersebutlah yang membentuk diri mereka dan membuat mereka merasa lebih menonjol sebagai individu.