BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Banyak
penelitian yang
membuktikan bahwa sikap sering
kali tidak sesuai dengan perilaku. Di Indonesia, perilaku membuang sampah dikalangan
masyarakat Jakrta berkorelasi
positif dengan taraf pendidikan (
makin tinggi tingkat pendidikan makin positif sikapnya terhadap cara membuang
sampah secara benar). Akan tetapi dalam praktiknya, tidak ada perbedaan antara
yang berpendidikan dan kurang
berpendidikan dalam hal perilaku membuang sampah . Kedua golongan itu sama-sama
membuang sampah secara sembarangan (Surahmad, 1982).
Hal
itu sesuai dengan teori ketidaksesuaian yang mengatakan bahwa sikap akan
berubah demi mempertahankan konsistensi dengan perilaku nyatanya. Wujud
utamanya adalah teori ketidaksesuaian kognitif , yang dikemukakan petama kali oleh Leon Festinger ( 1957 ).
Teori ini difokuskan pada dua sumber pokok ketidak konsistenan sikap-perilaku:
akibat pengambilan keputusan dan akibat dari perilaku yang saling bertentangan
dengan sikap.
Biasanya
keputusan yang menimbulkan beberapa ketidak konsistenan karena tindakan
mempunyai arti bahwa harus membuang sesuatu yang di inginkan dan menerima
sesuatu yang tidak diharapkan. Pada saat
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan sikap; seperti kita mengikuti
perkulihan padahal kita tidak menyukai mata kuliah tersebut namun mata kuliah
tersebut wajib dihadiri. Pada saat itu ketidak konsistenan timbul diantara
sikap dan tingkah laku. Ketidak konsistenan semacam itu digambarkan sebagai
hasil ketidak sesuaian kognitif.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
Pengertian Sikap dan perilaku?
2. Bagaimana relevansi sikap dan perilaku?
C.
Tujuan
Untuk mengetahui hubungan dan
relevansi antara sikap dan perilaku pada
diri manusia. Serta untuk menambah pengetahuan dalam hal sikap yang terwujud dalam perilaku yang sesuai.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
sikap dan perilaku
Sikap
berasal dari bahasa latin “aptus” yang berarti dalam keadaan sehat dan siap
melakukan aksi serta tindakan. Secara harfiah, sikap dipandang sebagai kesiapan
raga yang dapat diamati. Menurut Allport, sikap merupakan kesiapan mental,
yaitu suatu proses yang berlangsung pada diri seeorang, bersama dengan
pengalaman individual masing-masina yang mengarahkan dan menentukan respon
terhadap berbagai objek dan situasi, sedangkan perilaku adalah suatu tindakan
yang dilakukan sebagai perwujudan dari sikap, keinginan, maupun keharusan.
Sikap
adalah konsep yang dibentuk oleh tiga komponen, yaitu:
1.
Komponen kognitif, berisi semua
pemikiran serta ide-ide yang berkenaan dengan objek sikap, dapat berupa
tanggapan atau keyakinan, kesan, atribusi, dan penilaian tentang objek, atas
hal-hal yang diketahuinya disetar objek sikap tersebut. Misalnya sikap terhadap
pemilu legislatif , seseorang mengetahui hal-hal yang berkenaan dengan pemilu
tersebut yaitu banyak parpol yang akan dipilih, tentang parpol-parpol yang ada,
siapa saja caleg atau tokoh partai yang mewakili partai, dan bagaimana cara
memilih. Selain itu seseorang tersebut
sering membaca aataupun melihat berita di media tentang berita para wakil
rakyat (DPR) mengenai kinerjanya dan
perbuatan-perbuatan tidak terpuji seperti tertidur diruang sidang, korupsi dan
lain-lain. Hal ini akan menimbulkan
tanggapan dan evaluasi dalam pikiran terhadap
wakil-wakil rakyat . Sehingga
komponen kognitif dapat menentukan perilaku yang dilakukan pada pemilu
legislatif tersebut.
2.
Komponen Afektif, meliputi perasaan dan
emosi terhadap objek sikap. Komponen afeksi diketahui melalui perasaan suka dan tidak suka, senang
atau tidak senangterhadap objek sikap. Isi perasaan atau emosi pada penilaian
inilah yang mewarnai sikap yang menjadi suatu dorongan dan kekuatan. Jika
seseorang merasa suka atau senang terhadap penampilan atau perilaku tokoh
pemimpin masyarakat (caleg) dari partai x maka ia akan memilih tokoh tersebut
diantara caleg-caleg yang ada. Hal ini
terjadi karena dorongan perasaan dan keyakinan terhadap objek sikap yang
dimaksud.
3.
Komponen Perilaku, Jika orang mengenali
dan memiliki pengetahuan yang luas tentang objek sikap yang disertai dengan
perasaan positif mengenai kognisinya, maka ia cenderung mendeteksi objek sikap
tersebut. Misalnya seseorang akan memperlihatkan dukungan, memberi bantuan, dan
menjadi tim sukses bagi tokoh partai yang disukainya, namun sebaliknya bila
orang memiliki anggapan dan keyakinan serta pengetahuan yang negatif juga
perasaan tidak senang terhadap objek sikap, maka ia cenderung “menjauhi”
artinya ia akan menentang, menolak dan menghindar dari objek tersebut.
B. Relevansi Sikap terhadap Perilaku
Semakin
besar relevansi spesifik sikap terhadap perilaku, semakin tinggi korelasi antara
keduanya.
a. Penonjolan
Sikap
Dalam kebanyakan
situasi, beberapa sikap tertentu bisa relevan dengan perilaku. Seperti
kasus diatas seseorang yang sebenarnya tidak mau menerima uang ucapan terimakasih
itu tetapi karena
bu Tati tidak dapat menolak lagi
sebab menurutnya telah
terjadi persekongkolan umum dan telah menjadi sistem nilai dalam masyarakatnya
hal seperti itu karena itu baginya
menolak ucapan terimakasih dari pak Dulkoming
berarti menolak masyarakat jadi
dengan alasan itu terpaksalah bu Tati menerimanya. Contoh lainnya seperti
perilaku menyontek pada ujian akhir, sebenarnya tidak mau menyontek karena
tahu itu hal yang dilarang, akan tetapi
akibat lemahnya sikap terhadap kejujuran
atau kuatnya keinginan untuk
lulus dan takut mengecewakan orang tua mendorong seseorang itu menyontek.
Oleh
sebab itu, faktor penting dari konsistensi sikap-perilaku adalah penjolan sikap
yang relevan yang harus diperhatikan. Konsistensi antara sikap yang tidak
toleran dan perilaku diskriminasi mungkin akan cukup rendah jika orang
memikirkan sikap lain pada saat bertindak. Jadi bila sikap yang mempunyai
relevansi spesifik yang terutama
menonjol, kemungkinan besar sikap akan berkaitan dengan perilaku. Sebagai
contoh snyder dan Swann ( 1976)
menempatkan subjek dalam situasi juri tiruan dan memberi mereka kasus perbedaan
kelamin. Dalam suatu kondisi, sikap subjek yang menyetujui ditonjolkan
melalui pemberian instruksi
pada mereka agar selama beberapa menit selama beberapa
menit sebelum membahas kasus itu mereka mengatur pemikiran mereka tentang
tindakan menyetejui. Dalam kondisi “tidak ditonjolkan”, subjek tidak
diberitahukan tentang keterlibatan tindakan menyetejui. Bila ditonjolkan, sikap
akan menunjukkan kaitan yang erat dengan putusan juri dalam kasus tersebut.
Tetapi sikap terhadap menyetujui tidak erat hubungannya dengan putusan itu bila
sikap tersebut tidak ditonjolkan.
Penonjolan itu terutama sangat penting bila sikap itu
tidak terlalu kuat. Namun apabila sikap itu sangat kuat, nampaknya sikap
tersebut tidak perlu dipaksakan untuk masuk dalam perhatian seseorang untuk
dikaitkan secara erat dengan perilaku.
b.
Tekanan Situasi
Bila
ada seseorang melakukan perilaku yang nyata, mereka akan dipengaruhi oleh sikap
mereka dan oleh situasi. Bila tekanan situasi sangat kuat, pada umumnya sikap
tidak mempengaruhi perilaku akan tetapi bila tekanan sikap lemah hal itu yang
akan berpengaruh terhadap perilaku. Sebagai contoh sikap remaja terhadap bir,
minuman keras, dan anggur merupakan alat prediksi terbaik tentang frekuensi
minuman yang sebenarnya, tetapi hanya dalam
pesta. Dirumah perilaku minum
yang sebenarnya dapat diprediksi dengan
lebih baik melalui persepsi tentang pandangan orang tua mereka terhadap
minum-minuman keras, suatu kekuatan situasi(Schlegel et.al.1997). Teman-teman sangat mempengaruhi sikap kita,
kita memilih teman sebagian besar atas dasar kesamaan sikap dan sikap yang
mempengaruhi persepsi kita tentang pandangan orang tua kita.
c. Model
tindakan yang masuk akal
Dalam
hal ini terkemuka suatu teori yang menyatakan sikap sebagai penentu perilaku,
bersifat terlalu sederhana. Kadang-kadang sikap menentukan perilaku dan kada-kadang tidak. Dalam usaha
menemukan dan menguji model sederhana
yang berhubungan sikap-dan perilaku adalah teori “ tindakan yang masuk
akal” dari Fish bein dan Azjen, 1975: Fish Bein, 1980. Teori ini berusaha
menetapkan faktor-faktor apa yang menentukan konsistensi sikap dan perilaku,
yang dimulai dengan asumsi bahwa orang cukup rasional. Teori ini memiliki nilai dalam usaha memahami peranan
sikap dalam menentukan perilaku. Pada umumnya kita percaya bahwa sikap
mempengaruhi perilaku. Nampaknya itu benar bila dikatakan bahwa sikap selalu
memberikan tekanan untuk melakukan perilaku yang konsisten dengan sikap itu,
meskipun tekanan-tekanan lain juga mempengaruhi perilaku.
KASUS
Ketika
itu, seorang guru dari sekolah Menegah Atas (SMA) sebut saja namanya ibu Tati dipanggil
oleh pengawas tata usaha di sekolahnya untuk menyampaikan pesan dari kepala
sekolah SMA tersebut bahwa dia disuruh menghadap bapak Kepala Sekolah . Sesampainya
di ruang kepala sekolah ternyata didalam
ruangan itu sudah menunggu tiga orang yaitu orang tua dari salah satu murid di
sekolah itu, pak Darwis ( guru orkes dan wali kelas 1) dan bu Lastri (guru
bahasa daerah dan wali kelas dua). Pak kepala sekolah kemudian berbicara
tentang Dulkozak, murid kelas III A2
yang merupakan siswa kelas ibu Tati (ibu Tati wali kelasnya), yang ingin
masuk Institut Gizi. Pak kepala sekolah menanyakan pada bapak dari Dulkozak,
apakah betul-betul akan diterima di IG?
Kemudian pak Dulkoming mengiakan, sambil menjelaskan bahwa menantunya mempunyai
teman akrab yang bekerja di IG dan berani menjamin Dulkozak pasti diterima di IG
dengan syarat nilai rapor harus rata-rata 7.
Kemudian
ibu tati berkata dalam hatinya, Dulkozak
bukan anak yang bodoh . ia rajin, ulet dan tidak nakal. Tidak memalukan jika
angka-angkanya disulap menjadi 7 karena itu akan memberi kepastian masa depan ditengah-tengah
lulusan perguruan tinggi yang sering menganggur.Bapak kepala sekolah
menyodorkan rapor baru yang sudah di isi oleh pak Darwis dan Bu Lastri. Pak
Abduh mengisi dan menandatanganinya. Pak
Dulkoming bangkit, menyalami guru-guru yang ada diruang itu, sambil menyodorkan
amplop, mengucapkan terima kasih dan pamit. Amplop diserahkan pak Abduh pada
kepala sekolah, tetapi ia menolak. “bagikan yang adil kata pak Dulkoming.
Sepulang
Ibu tati kerumah ia menceritakan pada suaminya pak Noel.
Kemudian pak Noel menatap ibu Tati yang sedang menghitug isi amplop yang di berikan
pak Dulkoming.
“Dari
mana, dan dari siapa tanya pak Noel. Ibu Tati memejamkan mata seraya menjawab “
tidak tahu” ibu Tati tidak berani menceritakan yang sebenarnya pada suaminya. Kemudian pak Noel
berkata “sebaiknya kembalikan amplop itu. Itu Suap. Kesokan harinya ibu Tati
bertemu pak Darwis juga Bu Lastri, mereka mengatakan “tidak masalah dengan
amplop yang berisi uang yag diberikan”.
Kemudian ibu Tati menemui kepala sekolah , untuk mengembalikan amplop
yang berisi uang tadi, tetapi kepala
sekolah tidak mau menerima uang itu karena bukan dia yang memberi. Pak kepala
sekolah mengatakan itu bukan suap melainkan uang terima kasih dari pak
Dulkoming. Kemudian pak kepala sekolah menambahkan pendapatnya bahwa ini adalah
masalah pergaulan dan sopan santun. Bukan masalah halal atau haram.
Pada
saat jam
mengajar sudah selesai pak Noel menjemput bu Tati, bu Tati berkata izinkan aku bicara mas “ aku tahu
ini salah, tetapi aku tidak dapat
lepas dari jerat ini. Telah terjadi persekongkolan umum dan berubah menjadi sistem nilai dna
norma. Saya tidak dapat menolak ini karena saya harus menolak masyarakat, harus
berada diluar masyarakat. Kita hidup dalam alam dan sistem nilai yang bukan
seperti kita bayangkan, kamu mengerti mas?”
Pak
Noel diam saja, menggelengkan kepala, istigfar, menatap bu Tati sambil
tersenyum dan berjalan. ( cerpen harian kompas).
Di
dalam psikologi, penolakan Ibu Tuti dan Pak Noel terhadap uang pemberian dari Pak Dulkoming
didasari oleh suatu hal yang dinamakkan “sikap” (attitude). Demikian pula penerimaan
pak kepala sekolah, pak Darwis, dan Bu Lastri terhadap uang tersebut didasari
oleh sikap. Pada kasus diatas ada dua macam sikap terhadap uang pemberian pak
Dulkoming (objek Sikap). Yang pertama adalah sikap yang positif (Kepala
sekolah, Pak Darwis, dan Bu Lastri) dan yang kedua adalah sikap negatif ( Ibu
Tati dan Pak Noel). Kedua macam sifat tersebut didasarkan atas pengetahuan dan
kepercayaan ( domain/ bagian kognitif) yang berbeda sehingga menimbulkan
perasaan ( domain afektif) yang cenderung bertingkah laku (domain konatif) yang
berbeda pula. Pak kepala sekolah dan kawan-kawan yakin itu bukan suap melainka sekedar uang ucapan
terima kasih dan masalah pergaulan daan sopan santun. Karena itu, mereka senang
saja menerima uang itu. Sebaliknya menurut bu Tati dan pak Noel uang itu dalah suap, melanggar aturan
dan melanggar agama. Karena itu perasaan yang timbul adalah tidak senang,
gelisah, dan mereka tidak mau menerima uang tersebut.
Jadi
sikap mengandung 3 bagian( domain), yaitu domain sikap adalah kognitif, afektif
dan konatif. (Allport, 1954) Karena tiga domain itu saling terkait erat, tibul
teori bahwa jika kita dapat mengetahui kognisi dan perasaan seseorang terhadap
suatu objek sikap tertentu, kita akan tahu pula kecebderungan perilakunya.
Dengan demikian, kita dapat meramalkan perikalu dari sikap yang dampaknya besar
sekali dalam penerapan psikologi, karena dapat dimanfaatkan baik dalam hubungan
antarpribadi, dalam konseling maupun hubungan antar kelompok.
Namun,
dalam kenyataannya suatu sikap tidak
selalu berakhir pada perilaku yang sesuai dengan sikap tersebut. Pak kepala
sekolah dan kawan-kawan (
menerima uang) yang sesuai dengan
sikapnya yang posotif. Akan tetapi, bu Tati dan pak Noel menerima uang itu itu
juga walaupun walaupun tidak sesuai dengan sikapnya(negatif). Begitu pula dalam
kehidupan sehari-hari kita sering sekali mengalami ketidaksesuaian antara sikap
dan perilaku seperti hal nya bu Tati dan
Pak Noel. Contohnya yang sering mahasiswa alami, kita sering merasa malas
kekampus pagi-pagi karena merasa masih
ngantuk masih mau tidur(sikap negatif),
tetapi karena takut ketingglan materi kuliah kita tetap saja ke kampus.
Itulah sikap dan itu lah tingkah laku. Sikap tidak selalu sejalan dengan
tingkah laku. Dari kasus di atas
terlihat ada perbedaan sikap terhadap objek sikap yang sama, hal itu
dikarenakan pembentukan sikap yang berbeda. Menurut Arvey dkk., 1989: Keller,
dkk., 1982, Weller,dkk., 1990
faktor-faktor genetik yang berpengaruh pada terbentuknya sikap. Namun pakar
Psikologi sosial berpendapat bahwa sikap terbentuk dari pengalaman, melalui
proses belajar. Sikap terbentuk melalui empat macam pembelajaran, yakni:
1. Pengondisian
Klasik, atau dengan kata lain disebut juga proses belajar sosial. Proses
pembelajaran dapat terjadi ketika suatu stimulus ( rangsang) diikuti oleh
stimulus yang lain, sehingga rangsangan yang pertama menjadi suatu isyarat bagi
rangsang yang kedua. Seperti seorang
anak setiap kali melihat ibunya menghidangkan teh dan kue kepada
tamunya(rangsang pertama). Kemudian ibunya dan tamu tampak berbincang dengan
senang dan gembira(rangsang kedua). Setelah anak tersebut dewasa, ia akan
bersikap positif terhadap tamu yang berkunjung kerumahnya sebagai hasil
pembelajaran secara konditioning klasik. Ia menerima tamunya dengan senang
meskipun rangsangan pertama tadi tidak muncul, tetapi respon terhadap stimulus
kedua sangat kuat, sehingga ia selalu dalam suasana gembira ketika menyambut
tamu yang datang kerumahnya.
2. Pengondisian
instrumental, proses pembelajaran terjadi ketika suatu perilaku mendatangkan
hasil yang akan menyenangkan bagi seseorang, maka perilaku tersebut akan
diulang kembali. Sebaliknya jika perilaku mendatangkan hasil yang tidak
menyenangkan bagi seseorang maka perilaku tersebut tidak akan diulang lagi
bahkan dihindari. Seperti seorang anak yang mendapat senyuman atau pujian dari
ibunya ketika ia membuang daun, kertas, plastik, atau bungkus makanan ketempat
sampah. Sebaliknya, ia selalu dimarahi oleh ibunya kalau membuang bungkus
makanan tadi sembarangan. Sehingga ketika dewasa akan terbentuk sikap positif
terhadap benda-benda yang digolongkan sebagai sampah. Hal itu tampak melalui
perilakunya membyang sampah yang selalu pada tempatnya.
3. Belajar
Melalui Pengamatan, proses pembelajaran dengan cara mengamati perilaku orang
lain, kemudian dijadikan sebagai contoh untuk berperilaku serupa. Banyak
perilaku yang dilakukan seseorang hanya
karena mengamati perbuatan orang lain. Misalnya perilaku merokok pada remaja biasanya dilakukan karena
meniru teman-teman sebayanya dalam lingkungan pergaulan. Conntoh lain perilku
orang yang bemberi “uang damai” ketika ditangkap polisi karena melakukan
pelanggaran lalu lintas. Perbuatan tersebut muncul melalui pengamatan pada
kejadian serupa yang dialami orang lain.
Penelitian A. Gunter
(1995, dalam Baron dan Byrne, 2008) membuktikan bahwa orang cenderung memberi
penilaian yang berlebihan terhadap orang
lain terkait dengan penyiaran pornografi
dan adegan kekerasan di media massa(maksudnya dipengaruhi). Sebaliknya,
terhadap dirinya sendiri ia menilai tidak mudah dipengaruhi.
4. Perbandingan
Sosial, proses pembelajaran dengan membandingkan orang lain untuk mengecek
apakah pandangan kita mengenai sesuatu hal adalah benar atau salah. Kita
cenderung menyamakan dan mengambil ide-ide dan sikap-sikap mereka. Sikap
ini dibentuk atau diperoleh seseorang melalui anjuran dari orang-orang yang
dikenal dan dihormatinya dan juga kita sering memiliki sikap
positif atau negatif terhadap objek
sikap karena kita membandingkan dan ingin menyamakan diri dengan orang
disekitar kita.
5.
Faktor Genetik, penelitian
yang dilakukan terhadap kembar identik menunjukkan bahwa sikap juga dipengaruhi
oleh faktor genetik, walaupun besarnya pengaruh tersebut bervariasi untuk sikap
yang berbeda. Sikap dari kembar identik yang dipisahkan di awal kehidupanya
berkorelasi lebih tinggi daripada kembar nonidentik atau orang lain yang tidak
memiliki hubungan keluarga.
Dari faktor
pembentuk sikap diatas, peilaku ibu Tuti menurut saya dibentuk oleh perbandingan
sosial. Saya katakan terbentuk dari
perbandingan sosial karena ibu Tuti mencoba menceritakan kepada pak Noel
suaminya tentang uang terima kasih yang diberikan Pak Dulkoming. Kemudian pak
Noel menyuruh ibu Tuti mengembalikan uang tersebut karena menurut Pak Noel itu
adalah uang suap. Pada keesokan harinya Ibu Tuti mencoba mengembalikan uang
tersebut karena menurut suaminya itu uang Suap dan itu haram. Disitu menurut
saya tejadi perbandingan sosial antara ibu Tuti dan Pak Noel. Ibu Tuti mencoba
menyamakan pendapat suaminya dengan dirinya bahwa uang tersebut adalah uang
suap.
Setelah
mereka sependapat bahwa uang itu adalah uang suap, ternyata ibu
Tuti tidak dapat lepas dari jerat itu. Karena menurutnya telah terjadi
persekongkolan umum dan berubah menjadi sistem
nilai dan norma. Ibu Tuti tidak dapat menolak uang terima kasih tersebut karena
menurutnya menolak uang terima ksih tersebut sama saja menolak masyarakat,
disinilah terjadi ketidak sesuaian antara sikap dan perilaku.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sikap ialah penilaian terhadap suatu objek yang terdapat dalam kehidupan
kita (termasuk diri kita sendiri). Sikap terdiri dari tiga komponen yaitu
kognitif, afektif (muatan emosi dan perasaan), konasi. Sikap mempunyai
cirri-ciri antara lainsikap tidak dibawa sejak lahir, sikap itu berhubungan
dengan objek sikap dan lain sebagainya. Sikap memiliki fungsi yaitu fungsi
pengetahuan, fungsi identitas, fungsi harga diri dan masih banyak lainnya.
Sikap tidak selalu meramalkan perilaku.
Pembentukan sikap dibentuk melaui pengkondisian klasik, pengkondisian
instrumental dan ada factor internal maupun eksternal. Sikap seseorang dapat
diukur melalui tingkatannya yaitu mulai dari menerima sampai bertanggung jawab.
Semua hal itu didukung oleh teori sikap yaitu teori belajar, konsistensi kognif
dimana dalam teori ini terdapat teori disonansi kognitif dimana kita selalu menjumpai hal ini dalam kehidupan sehari-hari serta teori
Respon kognitif.
B.
Saran
Terus cari pengalaman
sebanyak-banyaknya karena pengalaman sangat menentukan sikap-perilaku kita yang
sesuai. Terus Introsfeksi diri untuk menjadikan sikap-perilaku yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Sarwono, Sarlito W dan Eko A.Meinarno.
2011. Psikologi Sosial.
Jakarta: Salemba Humanika
2.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2002. Psikologi Sosial. Jakarta: Balai
Pustaka
3.
Santoso, Slamet. 2010. Teori-Teori Psikologi Sosial.
Surabaya: Aditama
4.
Freedman, L. Jonathan,
penerjemah Michael Adryanto. 1985. Psikologi
Sosial.
Jakarta: Erlangga