My Friend

Jumat, 13 Juni 2014

Relevansi Sikap dan Tingkah Laku



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Banyak  penelitian  yang  membuktikan bahwa sikap sering  kali tidak sesuai dengan perilaku. Di Indonesia,  perilaku membuang sampah dikalangan masyarakat  Jakrta berkorelasi positif  dengan  taraf pendidikan   ( makin tinggi tingkat pendidikan makin positif sikapnya terhadap cara membuang sampah secara benar). Akan tetapi dalam praktiknya, tidak ada perbedaan antara yang berpendidikan dan  kurang berpendidikan dalam hal perilaku membuang sampah . Kedua golongan itu sama-sama membuang sampah secara sembarangan (Surahmad, 1982).
Hal itu sesuai dengan teori ketidaksesuaian yang mengatakan bahwa sikap akan berubah demi mempertahankan konsistensi dengan perilaku nyatanya. Wujud utamanya adalah teori ketidaksesuaian kognitif , yang dikemukakan  petama kali oleh Leon Festinger ( 1957 ). Teori ini difokuskan pada dua sumber pokok ketidak konsistenan sikap-perilaku: akibat pengambilan keputusan dan akibat dari perilaku yang saling bertentangan dengan sikap.
Biasanya keputusan yang menimbulkan beberapa ketidak konsistenan karena tindakan mempunyai arti bahwa harus membuang sesuatu yang di inginkan dan menerima sesuatu yang tidak diharapkan. Pada saat  melakukan sesuatu yang bertentangan dengan sikap; seperti kita mengikuti perkulihan padahal kita tidak menyukai mata kuliah tersebut namun mata kuliah tersebut wajib dihadiri. Pada saat itu ketidak konsistenan timbul diantara sikap dan tingkah laku. Ketidak konsistenan semacam itu digambarkan sebagai hasil ketidak sesuaian kognitif.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Sikap dan  perilaku?
2.      Bagaimana  relevansi sikap dan perilaku?

C.    Tujuan
Untuk mengetahui hubungan dan relevansi antara sikap dan  perilaku pada diri manusia. Serta untuk menambah pengetahuan dalam hal sikap  yang terwujud dalam perilaku yang sesuai.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian sikap dan perilaku
Sikap berasal dari bahasa latin “aptus” yang berarti dalam keadaan sehat dan siap melakukan aksi serta tindakan. Secara harfiah, sikap dipandang sebagai kesiapan raga yang dapat diamati. Menurut Allport, sikap merupakan kesiapan mental, yaitu suatu proses yang berlangsung pada diri seeorang, bersama dengan pengalaman individual masing-masina yang mengarahkan dan menentukan respon terhadap berbagai objek dan situasi, sedangkan perilaku adalah suatu tindakan yang dilakukan sebagai perwujudan dari sikap, keinginan, maupun keharusan.
Sikap adalah konsep yang dibentuk oleh tiga komponen, yaitu:
1.              Komponen kognitif, berisi semua pemikiran serta ide-ide yang berkenaan dengan objek sikap, dapat berupa tanggapan atau keyakinan, kesan, atribusi, dan penilaian tentang objek, atas hal-hal yang diketahuinya disetar objek sikap tersebut. Misalnya sikap terhadap pemilu legislatif , seseorang mengetahui hal-hal yang berkenaan dengan pemilu tersebut yaitu banyak parpol yang akan dipilih, tentang parpol-parpol yang ada, siapa saja caleg atau tokoh partai yang mewakili partai, dan bagaimana cara memilih.  Selain itu seseorang tersebut sering membaca aataupun melihat berita di media tentang berita para wakil rakyat  (DPR) mengenai kinerjanya dan perbuatan-perbuatan tidak terpuji seperti tertidur diruang sidang, korupsi dan lain-lain.  Hal ini akan menimbulkan tanggapan dan evaluasi dalam pikiran terhadap  wakil-wakil  rakyat . Sehingga komponen kognitif dapat menentukan perilaku yang dilakukan pada pemilu legislatif tersebut.
2.              Komponen Afektif, meliputi perasaan dan emosi terhadap objek sikap. Komponen afeksi diketahui  melalui perasaan suka dan tidak suka, senang atau tidak senangterhadap objek sikap. Isi perasaan atau emosi pada penilaian inilah yang mewarnai sikap yang menjadi suatu dorongan dan kekuatan. Jika seseorang merasa suka atau senang terhadap penampilan atau perilaku tokoh pemimpin masyarakat (caleg) dari partai x maka ia akan memilih tokoh tersebut diantara caleg-caleg  yang ada. Hal ini terjadi karena dorongan perasaan dan keyakinan terhadap objek sikap yang dimaksud.
3.              Komponen Perilaku, Jika orang mengenali dan memiliki pengetahuan yang luas tentang objek sikap yang disertai dengan perasaan positif mengenai kognisinya, maka ia cenderung mendeteksi objek sikap tersebut. Misalnya seseorang akan memperlihatkan dukungan, memberi bantuan, dan menjadi tim sukses bagi tokoh partai yang disukainya, namun sebaliknya bila orang memiliki anggapan dan keyakinan serta pengetahuan yang negatif juga perasaan tidak senang terhadap objek sikap, maka ia cenderung “menjauhi” artinya ia akan menentang, menolak dan menghindar dari objek tersebut.

B.  Relevansi Sikap terhadap Perilaku
Semakin besar relevansi spesifik sikap terhadap perilaku, semakin tinggi korelasi antara keduanya.
a.       Penonjolan Sikap
Dalam  kebanyakan  situasi, beberapa sikap tertentu bisa relevan dengan perilaku. Seperti kasus diatas seseorang yang sebenarnya tidak mau menerima uang ucapan  terimakasih  itu  tetapi  karena  bu Tati tidak dapat menolak lagi  sebab  menurutnya  telah  terjadi persekongkolan umum dan telah menjadi sistem nilai dalam masyarakatnya hal seperti itu  karena itu baginya menolak ucapan terimakasih dari pak Dulkoming  berarti  menolak masyarakat jadi dengan alasan itu terpaksalah bu Tati menerimanya. Contoh lainnya seperti perilaku menyontek pada ujian akhir, sebenarnya tidak mau menyontek karena tahu  itu hal yang dilarang, akan tetapi akibat lemahnya sikap terhadap kejujuran  atau  kuatnya keinginan untuk lulus dan takut mengecewakan orang tua mendorong seseorang itu menyontek.
Oleh sebab itu, faktor penting dari konsistensi sikap-perilaku adalah penjolan sikap yang relevan yang harus diperhatikan. Konsistensi antara sikap yang tidak toleran dan perilaku diskriminasi mungkin akan cukup rendah jika orang memikirkan sikap lain pada saat bertindak. Jadi bila sikap yang mempunyai relevansi spesifik yang  terutama menonjol, kemungkinan besar sikap akan berkaitan dengan perilaku. Sebagai contoh snyder dan Swann  ( 1976) menempatkan subjek dalam situasi juri tiruan dan memberi mereka kasus perbedaan kelamin. Dalam suatu kondisi, sikap subjek yang menyetujui  ditonjolkan  melalui pemberian instruksi  pada  mereka  agar selama beberapa menit selama beberapa menit sebelum membahas kasus itu mereka mengatur pemikiran mereka tentang tindakan menyetejui. Dalam kondisi “tidak ditonjolkan”, subjek tidak diberitahukan tentang keterlibatan tindakan menyetejui. Bila ditonjolkan, sikap akan menunjukkan kaitan yang erat dengan putusan juri dalam kasus tersebut. Tetapi sikap terhadap menyetujui tidak erat hubungannya dengan putusan itu bila sikap tersebut tidak ditonjolkan.
Penonjolan  itu terutama sangat penting bila sikap itu tidak terlalu kuat. Namun apabila sikap itu sangat kuat, nampaknya sikap tersebut tidak perlu dipaksakan untuk masuk dalam perhatian seseorang untuk dikaitkan secara erat dengan perilaku.

b.      Tekanan Situasi
Bila ada seseorang melakukan perilaku yang nyata, mereka akan dipengaruhi oleh sikap mereka dan oleh situasi. Bila tekanan situasi sangat kuat, pada umumnya sikap tidak mempengaruhi perilaku akan tetapi bila tekanan sikap lemah hal itu yang akan berpengaruh terhadap perilaku. Sebagai contoh sikap remaja terhadap bir, minuman keras, dan anggur merupakan alat prediksi terbaik tentang frekuensi minuman yang sebenarnya, tetapi hanya dalam  pesta. Dirumah  perilaku  minum  yang sebenarnya dapat diprediksi dengan  lebih baik melalui persepsi tentang pandangan orang tua mereka terhadap minum-minuman keras, suatu kekuatan situasi(Schlegel et.al.1997).  Teman-teman sangat mempengaruhi sikap kita, kita memilih teman sebagian besar atas dasar kesamaan sikap dan sikap yang mempengaruhi persepsi kita tentang pandangan orang tua kita.

c.       Model tindakan yang masuk akal
Dalam hal ini terkemuka suatu teori yang menyatakan sikap sebagai penentu perilaku, bersifat terlalu sederhana. Kadang-kadang sikap menentukan  perilaku dan kada-kadang tidak. Dalam  usaha  menemukan dan menguji model sederhana  yang berhubungan sikap-dan perilaku adalah teori “ tindakan yang masuk akal” dari Fish bein dan Azjen, 1975: Fish Bein, 1980. Teori ini berusaha menetapkan faktor-faktor apa yang menentukan konsistensi sikap dan perilaku, yang dimulai dengan asumsi bahwa orang cukup rasional. Teori ini  memiliki nilai dalam usaha memahami peranan sikap dalam menentukan perilaku. Pada umumnya kita percaya bahwa sikap mempengaruhi perilaku. Nampaknya itu benar bila dikatakan bahwa sikap selalu memberikan tekanan untuk melakukan perilaku yang konsisten dengan sikap itu, meskipun tekanan-tekanan lain juga mempengaruhi perilaku.
 
KASUS
Ketika itu, seorang guru dari sekolah Menegah Atas (SMA) sebut saja namanya ibu Tati dipanggil oleh pengawas tata usaha di sekolahnya untuk menyampaikan pesan dari kepala sekolah SMA tersebut bahwa dia disuruh menghadap bapak Kepala Sekolah . Sesampainya di ruang kepala sekolah  ternyata didalam ruangan itu sudah menunggu tiga orang yaitu orang tua dari salah satu murid di sekolah itu, pak Darwis ( guru orkes dan wali kelas 1) dan bu Lastri (guru bahasa daerah dan wali kelas dua). Pak kepala sekolah kemudian berbicara tentang Dulkozak, murid kelas III A2   yang merupakan siswa kelas ibu Tati (ibu Tati wali kelasnya), yang ingin masuk Institut Gizi. Pak kepala sekolah menanyakan pada bapak dari Dulkozak, apakah betul-betul akan diterima  di IG? Kemudian pak Dulkoming mengiakan, sambil menjelaskan bahwa menantunya mempunyai teman akrab yang bekerja di IG dan berani menjamin Dulkozak pasti diterima di IG dengan syarat nilai rapor harus rata-rata 7.
Kemudian  ibu tati berkata dalam hatinya, Dulkozak bukan anak yang bodoh . ia rajin, ulet dan tidak nakal. Tidak memalukan jika angka-angkanya disulap menjadi 7 karena itu akan memberi kepastian masa depan ditengah-tengah lulusan perguruan tinggi yang sering menganggur.Bapak kepala sekolah menyodorkan rapor baru yang sudah di isi oleh pak Darwis dan Bu Lastri. Pak Abduh  mengisi dan menandatanganinya. Pak Dulkoming bangkit, menyalami guru-guru yang ada diruang itu, sambil menyodorkan amplop, mengucapkan terima kasih dan pamit. Amplop diserahkan pak Abduh pada kepala sekolah, tetapi ia menolak. “bagikan yang adil kata pak Dulkoming.
Sepulang Ibu  tati kerumah  ia menceritakan pada suaminya pak Noel. Kemudian pak Noel menatap ibu Tati yang sedang menghitug isi amplop yang di berikan pak Dulkoming. 
“Dari mana, dan dari siapa tanya pak Noel. Ibu Tati memejamkan mata seraya menjawab “ tidak tahu” ibu Tati tidak berani menceritakan yang  sebenarnya pada suaminya. Kemudian pak Noel berkata “sebaiknya kembalikan amplop itu. Itu Suap. Kesokan harinya ibu Tati bertemu pak Darwis juga Bu Lastri, mereka mengatakan “tidak masalah dengan amplop yang berisi uang yag diberikan”.  Kemudian ibu Tati menemui kepala sekolah , untuk mengembalikan amplop yang berisi uang tadi, tetapi  kepala sekolah tidak mau menerima uang itu karena bukan dia yang memberi. Pak kepala sekolah mengatakan itu bukan suap melainkan uang terima kasih dari pak Dulkoming. Kemudian pak kepala sekolah menambahkan pendapatnya bahwa ini adalah masalah pergaulan dan sopan santun. Bukan masalah halal atau  haram.
Pada saat  jam  mengajar sudah  selesai pak  Noel menjemput bu Tati, bu Tati berkata   izinkan aku  bicara mas  “ aku  tahu  ini salah, tetapi aku tidak dapat lepas  dari  jerat ini. Telah terjadi persekongkolan  umum dan berubah menjadi sistem nilai dna norma. Saya tidak dapat menolak ini karena saya harus menolak masyarakat, harus berada diluar masyarakat. Kita hidup dalam alam dan sistem nilai yang bukan seperti kita bayangkan, kamu mengerti mas?”
Pak Noel diam saja, menggelengkan kepala, istigfar, menatap bu Tati sambil tersenyum dan berjalan. ( cerpen harian kompas).

Di dalam psikologi, penolakan Ibu Tuti dan Pak Noel  terhadap uang pemberian dari Pak Dulkoming didasari oleh suatu  hal yang dinamakkan  “sikap” (attitude). Demikian pula penerimaan pak kepala sekolah, pak Darwis, dan Bu Lastri terhadap uang tersebut didasari oleh sikap. Pada kasus diatas ada dua macam sikap terhadap uang pemberian pak Dulkoming (objek Sikap). Yang pertama adalah sikap yang positif (Kepala sekolah, Pak Darwis, dan Bu Lastri) dan yang kedua adalah sikap negatif ( Ibu Tati dan Pak Noel). Kedua macam sifat tersebut didasarkan atas pengetahuan dan kepercayaan ( domain/ bagian kognitif) yang berbeda sehingga menimbulkan perasaan ( domain afektif) yang cenderung bertingkah laku (domain konatif) yang berbeda pula. Pak kepala sekolah dan kawan-kawan  yakin  itu bukan suap melainka sekedar  uang  ucapan terima kasih dan masalah pergaulan daan sopan santun. Karena itu, mereka senang saja menerima uang  itu.  Sebaliknya menurut bu Tati dan  pak Noel uang itu dalah suap, melanggar aturan dan melanggar agama. Karena itu perasaan yang timbul adalah tidak senang, gelisah, dan mereka tidak mau menerima uang tersebut.
Jadi sikap mengandung 3 bagian( domain), yaitu domain sikap adalah kognitif, afektif dan konatif. (Allport, 1954) Karena tiga domain itu saling terkait erat, tibul teori bahwa jika kita dapat mengetahui kognisi dan perasaan seseorang terhadap suatu objek sikap tertentu, kita akan tahu pula kecebderungan perilakunya. Dengan demikian, kita dapat meramalkan perikalu dari sikap yang dampaknya besar sekali dalam penerapan psikologi, karena dapat dimanfaatkan baik dalam hubungan antarpribadi, dalam konseling maupun hubungan antar kelompok.
Namun, dalam kenyataannya  suatu sikap tidak selalu berakhir pada perilaku yang sesuai dengan sikap tersebut. Pak kepala sekolah dan kawan-kawan               ( menerima uang)  yang sesuai dengan sikapnya yang posotif. Akan tetapi, bu Tati dan pak Noel menerima uang itu itu juga walaupun walaupun tidak sesuai dengan sikapnya(negatif). Begitu pula dalam kehidupan sehari-hari kita sering sekali mengalami ketidaksesuaian antara sikap dan perilaku  seperti hal nya bu Tati dan Pak Noel. Contohnya yang sering mahasiswa alami, kita sering merasa malas kekampus pagi-pagi karena  merasa masih ngantuk masih mau tidur(sikap negatif),  tetapi karena takut ketingglan materi kuliah kita tetap saja ke kampus. Itulah sikap dan  itu lah tingkah  laku. Sikap tidak selalu sejalan dengan tingkah laku.  Dari kasus di atas terlihat ada perbedaan sikap terhadap objek sikap yang sama, hal itu dikarenakan pembentukan sikap yang berbeda. Menurut Arvey dkk., 1989: Keller, dkk., 1982,  Weller,dkk., 1990 faktor-faktor genetik yang berpengaruh pada terbentuknya sikap. Namun pakar Psikologi sosial berpendapat bahwa sikap terbentuk dari pengalaman, melalui proses belajar. Sikap terbentuk melalui empat macam pembelajaran, yakni:
1.      Pengondisian Klasik, atau dengan kata lain disebut juga proses belajar sosial. Proses pembelajaran dapat terjadi ketika suatu stimulus                 ( rangsang) diikuti oleh stimulus yang lain, sehingga rangsangan yang pertama menjadi suatu isyarat bagi rangsang  yang kedua. Seperti seorang anak setiap kali melihat ibunya menghidangkan teh dan kue kepada tamunya(rangsang pertama). Kemudian ibunya dan tamu tampak berbincang dengan senang dan gembira(rangsang kedua). Setelah anak tersebut dewasa, ia akan bersikap positif terhadap tamu yang berkunjung kerumahnya sebagai hasil pembelajaran secara konditioning klasik. Ia menerima tamunya dengan senang meskipun rangsangan pertama tadi tidak muncul, tetapi respon terhadap stimulus kedua sangat kuat, sehingga ia selalu dalam suasana gembira ketika menyambut tamu yang datang kerumahnya.
2.      Pengondisian instrumental, proses pembelajaran terjadi ketika suatu perilaku mendatangkan hasil yang akan menyenangkan bagi seseorang, maka perilaku tersebut akan diulang kembali. Sebaliknya jika perilaku mendatangkan hasil yang tidak menyenangkan bagi seseorang maka perilaku tersebut tidak akan diulang lagi bahkan dihindari. Seperti seorang anak yang mendapat senyuman atau pujian dari ibunya ketika ia membuang daun, kertas, plastik, atau bungkus makanan ketempat sampah. Sebaliknya, ia selalu dimarahi oleh ibunya kalau membuang bungkus makanan tadi sembarangan. Sehingga ketika dewasa akan terbentuk sikap positif terhadap benda-benda yang digolongkan sebagai sampah. Hal itu tampak melalui perilakunya membyang sampah yang selalu pada tempatnya.
3.      Belajar Melalui Pengamatan, proses pembelajaran dengan cara mengamati perilaku orang lain, kemudian dijadikan sebagai contoh untuk berperilaku serupa. Banyak perilaku yang dilakukan  seseorang hanya karena mengamati perbuatan orang lain. Misalnya perilaku  merokok pada remaja biasanya dilakukan karena meniru teman-teman sebayanya dalam lingkungan pergaulan. Conntoh lain perilku orang yang bemberi “uang damai” ketika ditangkap polisi karena melakukan pelanggaran lalu lintas. Perbuatan tersebut muncul melalui pengamatan pada kejadian serupa yang dialami orang lain.
Penelitian A. Gunter (1995, dalam Baron dan Byrne, 2008) membuktikan bahwa orang cenderung memberi penilaian  yang berlebihan terhadap orang lain terkait dengan penyiaran pornografi  dan adegan kekerasan di media massa(maksudnya dipengaruhi). Sebaliknya, terhadap dirinya sendiri ia menilai tidak mudah dipengaruhi.
4.      Perbandingan Sosial, proses pembelajaran dengan membandingkan orang lain untuk mengecek apakah pandangan kita mengenai sesuatu hal adalah benar atau salah. Kita cenderung menyamakan dan mengambil ide-ide dan sikap-sikap mereka. Sikap ini dibentuk atau diperoleh seseorang melalui anjuran dari orang-orang yang dikenal dan dihormatinya dan juga kita sering memiliki sikap positif  atau negatif terhadap objek sikap karena kita membandingkan dan ingin menyamakan diri dengan orang disekitar kita.
5.      Faktor Genetik, penelitian yang dilakukan terhadap kembar identik menunjukkan bahwa sikap juga dipengaruhi oleh faktor genetik, walaupun besarnya pengaruh tersebut bervariasi untuk sikap yang berbeda. Sikap dari kembar identik yang dipisahkan di awal kehidupanya berkorelasi lebih tinggi daripada kembar nonidentik atau orang lain yang tidak memiliki hubungan keluarga.

Dari faktor pembentuk sikap diatas, peilaku ibu Tuti menurut saya dibentuk oleh perbandingan sosial.  Saya katakan terbentuk dari perbandingan sosial karena ibu Tuti mencoba menceritakan kepada pak Noel suaminya tentang uang terima kasih yang diberikan Pak Dulkoming. Kemudian pak Noel menyuruh ibu Tuti mengembalikan uang tersebut karena menurut Pak Noel itu adalah uang suap. Pada keesokan harinya Ibu Tuti mencoba mengembalikan uang tersebut karena menurut suaminya itu uang Suap dan itu haram. Disitu menurut saya tejadi perbandingan sosial antara ibu Tuti dan Pak Noel. Ibu Tuti mencoba menyamakan pendapat suaminya dengan dirinya bahwa uang tersebut adalah uang suap.
Setelah mereka sependapat bahwa uang itu adalah uang suap, ternyata ibu Tuti tidak dapat lepas  dari  jerat itu. Karena menurutnya telah terjadi persekongkolan  umum dan berubah menjadi sistem nilai dan norma. Ibu Tuti tidak dapat menolak uang terima kasih tersebut karena menurutnya menolak uang terima ksih tersebut sama saja menolak masyarakat, disinilah terjadi ketidak sesuaian antara sikap dan perilaku.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sikap ialah penilaian terhadap suatu objek yang terdapat dalam kehidupan kita (termasuk diri kita sendiri). Sikap terdiri dari tiga komponen yaitu kognitif, afektif (muatan emosi dan perasaan), konasi. Sikap mempunyai cirri-ciri antara lainsikap tidak dibawa sejak lahir, sikap itu berhubungan dengan objek sikap dan lain sebagainya. Sikap memiliki fungsi yaitu fungsi pengetahuan, fungsi identitas, fungsi harga diri dan masih banyak lainnya. Sikap tidak selalu meramalkan perilaku.
Pembentukan sikap dibentuk melaui pengkondisian klasik, pengkondisian instrumental dan ada factor internal maupun eksternal. Sikap seseorang dapat diukur melalui tingkatannya yaitu mulai dari menerima sampai bertanggung jawab. Semua hal itu didukung oleh teori sikap yaitu teori belajar, konsistensi kognif dimana dalam teori ini terdapat teori disonansi kognitif dimana kita selalu menjumpai hal ini dalam kehidupan sehari-hari serta teori Respon kognitif.

B.     Saran
Terus cari pengalaman sebanyak-banyaknya karena pengalaman sangat menentukan sikap-perilaku kita yang sesuai. Terus Introsfeksi diri untuk menjadikan sikap-perilaku yang lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA

1.       Sarwono, Sarlito W dan Eko A.Meinarno. 2011. Psikologi Sosial.
     Jakarta: Salemba Humanika
2.       Sarwono, Sarlito Wirawan. 2002. Psikologi Sosial. Jakarta: Balai
        Pustaka
3.       Santoso, Slamet. 2010. Teori-Teori Psikologi Sosial.
      Surabaya:  Aditama
4.       Freedman, L. Jonathan,  penerjemah Michael Adryanto. 1985. Psikologi 
  Sosial. Jakarta: Erlangga